Bisnis.com, JAKARTA — Dalam satu pekan terakhir setidaknya terdapat tiga kereta api yang mengalami insiden anjlok dan terjadi di wilayah yang berbeda, yakni Jakarta, Subang, dan Lampung.
Ketiga kereta tersebut yakni kereta api jarak jauh KA Bromo Anggrek pada 1 Agustus. Sementara pada 5 Agustus 2025 lalu, terdapat dua kereta yang anjlok, KRL di emplasemen Stasiun Jakarta Kota dan KA Kuala Stabas (KA S5) di Lampung.
Meski tak ada korban jiwa dalam ketiga insiden tersebut, tetapi penumpang mengalami dampak secara langsung. Mulai dari keterlambatan puluhan kereta, pembatalan puluhan perjalanan KA jarak jauh, hingga rekayasa rute yang harus dilakukan dan mengganggu rencana perjalanan penumpang.
Mengapa insiden kereta api anjlok terjadi berulang?
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian maupun Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Kementerian Perhubungan saat ini masih melakukan investigasi. Utamanya untuk KA Bromo Anggrek.
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana menjelaskan pada dasarnya terdapat tiga faktor, yang dominan menyebabkan kecelakaan kereta, yakni faktor prasarana, sarana, dan faktor manusia.
Baca Juga
Faktor prasarana dapat berupa adanya malfungsi jalur rel kereta, malfungsi peralatan wesel (alat pemindah jalur) ataupun ada benda asing yang berada di sekitar jalur rel, dan dapat juga karena kondisi rel yang kurang baik, misalnya, rel patah, rel melengkung karena pemuaian terkena panas matahari atau ada penambat rel yang terlepas.
Faktor sarana dapat berupa kondisi rangka bawah dan roda kereta yang kurang baik, sedangkan faktor manusia dapat juga berpengaruh. Misalnya, kecepatan kereta yang melebihi batas di titik-titik rawan.
Faktor lain selain ketiganya dapat juga karena faktor alam yang dapat berpengaruh misalnya pergeseran rel karena pergerakan tanah akibat banjir atau tanah longsor. Namun, faktor ini tak masuk dugaan Aditya untuk anjlokan yang terjadi di Pegadenbaru dan Jakarta Kota.
“Dalam pandangan saya, faktor alam bisa tidak diperhitungkan karena kejadiannya ada di area emplasemen stasiun dan dalam kondisi cuaca baik,” ujarnya, dikutip pada Kamis (7/8/2025).
Di samping itu, Aditya melihat dari sisi faktor prasarana, kecil kemungkinan diakibatkan rel patah dan melengkung sangat kecil karena umumnya pemantauan di sekitar stasiun lebih ketat ketimbang di area bebas. Menurutnya, lebih besar kemungkinan anjlok terjadi karena adanya malfungsi di perlatan wesel rel atau pun mungkin benda asing di atas lintasan rel.
“Faktor sarana kemungkinan kecil untuk anjlok KA Bromo Anggrek karena sarana keretanya masih sangat baru, untuk KRL Jabodetabek hal ini masih terdapat kemungkinan,” lanjutnya.
Untuk itu, bila penyebab utamanya adalah faktor prasarana, maka tentu diperlukan perawatan dan pemantauan kondisi prasarana yang lebih intens dan detail.
Bila penyebabnya faktor sarana, tentu harus ada proses penjaminan kelaikan sarana terutama bagian rangka bawah dan roda sarana. Sementara apabila penyebabnya adalah pelanggaran batas kecepatan KA, maka tentu perlu upaya lebih intens untuk meningkatkan kedisiplinan dan kompetensi awak KA.
Meski demikian, semua dugaan tersebut masih perlu menunggu hasil investigasi dari KNKT maupun Dirjen KA Kemenhub untuk mendapat hasil yang pasti. Di samping seluruh penyebab yang mungkin menjadi faktor, Aditya meminta agar pemerintah perlu meningkatkan pengawasan agar kejadian serupa tidak terulang.
“Sistem pemantauan dan pengawasan kelaikan prasarana KA harus lebih ditingkatkan untuk mencegah terulangnya hal serupa, karena dalam banyak kasus anjlok terutama karena faktor prasarana,” jelasnya.
Pemerintah juga perlu didorong untuk memberikan dana Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) yang memadai kepada KAI agar sistem deteksi dan pengawasan prasarana dapat lebih intens dilakukan selain itu juga harus mulai melakukan banyak modernisasi prasarana terutama sistem persinyalan dan perpindahan jalur (wesel) serta untuk memperkuat lintasan jalur rel.