Bisnis.com, JAKARTA — Center of Reform on Economic (Core) Indonesia menyebut sebanyak 80% beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) tidak sampai ke tangan konsumen, sehingga potensi beras oplosan menjamur di pasar.
Pengamat Pertanian dari Core Indonesia Eliza Mardian menyebut fenomena beras oplosan ini telah bergulir sejak lama. Bahkan, dia menilai beras oplosan ini masuk ke dalam kategori kejahatan ekonomi.
Eliza mengatakan fenomena beras oplosan telah meresahkan dan merugikan konsumen. Hal ini menyusul potensi kerugian konsumen terhadap beras oplosan yang mencapai Rp99 triliun per tahun.
Teranyar, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri telah memanggil empat produsen beras terkait dengan dugaan pelanggaran mutu dan takaran pengemasan. Keempat produsen beras tersebut di antaranya Wilmar Group, PT Belitang Panen Raya, PT Sentosa Utama Lestari atau Japfa Group, dan PT Food Station Tjipinang Jaya.
“Sebetulnya fenomena oplos ini bukan cuma sekarang aja, tetapi dari dulu juga sudah ada beberapa kasus serupa. Ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi sih, karena merugikan konsumen,” kata Eliza kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Di samping itu, Eliza menilai fenomena beras oplosan ini juga telah mengganggu persaingan sehat di pasar, bahkan melemahkan kepercayaan publik terhadap industri beras.
Baca Juga
Meski demikian, menurut Eliza, pengoplosan beras tidak menjadi persoalan selama beras tersebut memenuhi standar beras premium seperti derajat sosoh hingga persen patahan. Namun, sambung dia, kasus ini berbeda jika pengoplosan beras merupakan hasil campuran dari beras SPHP untuk masyarakat menengah ke bawah.
“Yang jadi masalah itu jika pengoplosan dilakukan beras SPHP yang ditujukan untuk kalangan menengah bawah malah dioplos untuk beras premium,” tuturnya.
Pasalnya, Eliza menjelaskan bahwa beras SPHP merupakan instrumen pemerintah untuk menstabilkan harga melalui operasi pasar. Maksudnya, ketika harga beras melambung tinggi, maka konsumen kelas menengah-bawah yang rentan bisa membeli beras SPHP dengan harga terjangkau untuk menjaga daya beli.
“Sayangnya SPHP 80% bocor, berarti banyak yang dioplos. tentu ini merugikan negara dan juga konsumen kalangan menengah bawah,” ujarnya.
Alhasil, dia menuturkan masyarakat kelas menengah-bawah sulit mendapatkan beras SPHP dan terpaksa membeli beras dengan harga tinggi, yang pada akhirnya bisa menggerus daya beli masyarakat.
Selain konsumen, Eliza menjelaskan bahwa negara turut mengalami kerugian lantaran program SPHP tidak berjalan efektif untuk mengurangi kemiskinan. Untuk itu, dia menilai pemerintah harus segera menindak tegas mafia beras dengan memberikan efek jera agar fenomena beras oplosan ini tak lagi terjadi.
“Itu [beras SPHP] kan disubsidi untuk masysarakat menengah bawah agar semakin tidak tergerus daya belinya, tetapi malah dimanfaatkan pengusaha nakal untuk memaksimalkan keuntungan mereka,” tuturnya.
Lebih lanjut, Eliza, mengatakan agar fenomena beras oplosan tak kembali terulang, maka pemerintah harus memperketat regulasi standarisasi kualitas beras premium yang mencakup pengujian rutin terhadap kadar air, butir kepala, dan kepatuhan takaran.
Selain itu, lanjut dia, perlunya mewajibkan sertifikasi untuk produsen beras premium. Dalam hal ini, sertifikasi bisa melibatkan jasa pemastian untuk memastikan mutu beras agar konsumen beras premium tidak dirugikan.
Serta, perlu memperkuat regulasi pelabelan buat memastikan ada informasi yang lengkap di kemasan, seperti kelas mutu, berat bersih, komposisi, hingga ketertelusuran (traceability).
Eliza menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan perlu melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk menangani fenomena beras oplosan.
“Karena beras oplosan ini tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian, tetapi juga Kementerian Perdagangan. Jadi perlunya harmonisasi antar instansi agar efektif menanagani kasus ini,” ungkapnya.
Selanjutnya, tambah dia, pemerintah juga harus mengimplementasikan teknologi digital dengan sistem pelacakan beras berbasis teknologi. Dia menyebut, upaya ini dilakukan untuk memantau rantai pasok dari petani hingga konsumen, hingga memastikan transparansi dan mencegah manipulasi dan memudahkan pengawasan.
Terakhir, Eliza menilai pemerintah perlu memberikan sanksi yang tegas berupa pencabutan izin usaha. “Perlunya sanksi yang tegas efek jera. Tak hanya denda, tetapi pencabutan izin usaha, atau larangan distribusi bagi produsen yang terbukti melakukan pelanggaran,” pungkasnya.