Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rasio Pajak Indonesia Kian Tertekan, Pengamat Soroti Kerumitan Sistem

Rasio pajak Indonesia diperkirakan turun jadi 9,9% pada 2025. Pengamat menilai reformasi perpajakan butuh langkah cepat dan konsisten dari pemerintah.
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Rasio pajak Indonesia yang terus menurun dinilai menjadi tantangan serius bagi upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara dan memperkuat kapasitas fiskal.

Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyatakan bahwa rasio pajak Indonesia saat ini baru mencapai 10 persen. Angka ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam yang sudah mencapai 18 persen, serta Malaysia, Filipina, dan Singapura yang berada di kisaran 12%–14%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, kesenjangannya semakin lebar. Negara-negara Eropa, misalnya, memiliki rasio pajak rata-rata hingga 41%.

“Dengan penerimaan negara yang terbatas, yang bisa dilakukan oleh negara juga sangat terbatas. Sehingga dalam banyak kesempatan, karena penerimaannya sedikit, pengeluaran negara banyak, negara harus berutang,” ujarnya dalam program Broadcast di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Senin (14/7/2025).

Lebih lanjut, Wijayanto menambahkan bahwa persoalan bukan hanya rendahnya rasio pajak, tetapi juga lamanya durasi waktu untuk membayar pajak. Hal ini menurutnya mencerminkan kerumitan sistem perpajakan di Indonesia.

Untuk perusahaan kecil dan menengah, survei menunjukkan bahwa butuh waktu sekitar 190 jam per tahun untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Singapura (64 jam), Malaysia (180 jam), dan Vietnam (150 jam).

“Sebenarnya kalau kita lacak ke belakang, Indonesia dari tahun ke tahun ada perbaikan dari sisi durasi itu, walaupun kemudian akhir-akhir ini stagnan. Vietnam melakukan transformasi sistem perpajakan sehingga dalam waktu singkat bisa turun dari 280 jam ke 150 jam,” tambahnya.

Menurutnya, pemerintah telah berupaya melakukan pembaruan sistem, salah satunya melalui penerapan core tax system atau Cortex. Namun, implementasi sistem ini belum berjalan sesuai harapan. Di masa transisi, justru muncul kompleksitas baru.

“Kadang-kadang orang mencoba dua cara harusnya, cara lama dan cara yang baru. Jadi duplikasi pekerjaan, walaupun nanti kalau ini sudah berjalan dengan baik, masyarakat akan terbantu,” tuturnya.

Ia menjelaskan, Cortex masih menemui banyak kendala karena pada dasarnya sistem perpajakan di Indonesia tergolong paling rumit—bukan hanya dari aspek regulasi, tetapi juga karena banyaknya diskresi yang bersifat kasuistis dan ad hoc.

“Kebetulan Cortex ini, desain awalnya adalah ketika Pak JK [Jusuf Kalla] masih wapres. Saya staf khusus bidang ekonomi. Memang konsultan dari World Bank waktu itu sempat mengusulkan, supaya sebelum bikin Cortex, simplifikasi peraturan pajak. Tapi waktu itu memang kalau harus memperbaiki ini, perlu waktu, ya sudah jalan saja dengan apa adanya,” terangnya.

Dalam diskusi tersebut, Wijayanto juga menyoroti seretnya penerimaan pajak, yang menurutnya mengkhawatirkan. Pasalnya, kontribusi pajak mencapai sekitar 80%–85% dari total penerimaan negara.

Dia mengungkapkan bahwa pada 2008 rasio pajak Indonesia sempat berada di angka 13,3%, namun pada 2024 turun menjadi 10%, dan pada 2025 diperkirakan kembali turun ke kisaran 9,9%.

“Kalau ini hanya turun di tahun ini, barangkali karena ada satu fenomena. Tapi kalau ini merupakan sesuatu yang terus terjadi, ini struktural. Ada something wrong dengan ekonomi kita,” katanya.

Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah jangka pendek, menengah, dan panjang. Pada jangka menengah dan panjang, salah satu yang perlu dilakukan adalah memperbaiki iklim investasi agar pelaku usaha mau menanamkan modal atau melakukan ekspansi. Dengan demikian, penciptaan lapangan kerja meningkat, yang pada akhirnya berdampak positif pada penerimaan pajak.

Adapun langkah jangka pendek yang membutuhkan ketegasan adalah mendorong sektor ekonomi bawah tanah (shadow economy), seperti kegiatan penyelundupan, agar bisa masuk ke dalam sistem legal. Dengan begitu, negara bisa memungut pajak dari aktivitas yang sebelumnya tidak tercatat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper