Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengklaim kebijakan mandatori biodiesel menghemat devisa sebesar US$17,19 miliar atau setara dengan Rp271,78 triliun sepanjang 2024 hingga 2025.
Menurutnya, hal ini menjadi bukti bahwa program tersebut memberikan dampak ekonomi yang signifikan, termasuk penciptaan lapangan kerja.
Adapun mandatori biodiesel diluncurkan sebagai upaya memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri dengan mencampurkan biodiesel ke dalam solar. Pada 2025, Indonesia sudah menerapkan mandatori biodiesel B40 dan pemerintah berencana meningkatkan campuran hingga B50 tahun depan.
"Kebijakan mandatori biodiesel ini adalah program pemerintah untuk mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri dengan mencampurkan biodiesel ke dalam solar. Pada tahun 2025, kita sudah mandatori biodiesel B40, dan juga untuk tahun depan kita merencanakan implementasi B50," ujar Yuliot melalui keterangan resmi dikutip Minggu (29/6/2025).
Dia menjelaskan, pemanfaatan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku biodiesel diharapkan dapat meningkatkan ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi ketergantungan impor BBM. Langkah ini selaras dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada energi.
Selain menghemat devisa, kata Yuliot, kebijakan mandatori biodiesel juga mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Dia mencatat, pada 2024, program mandatori B35 menyerap sekitar 12.000 tenaga kerja di sektor off-farm dan 1,64 juta orang di sektor on-farm.
Baca Juga
Sementara itu, program mandatori B40 pada 2025, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 14.000 orang (off-farm) dan 1,95 juta orang (on-farm).
Yuliot menuturkan sejak diluncurkan pada 2015 dengan B20, program ini terus berkembang menjadi B30 pada tahun 2020 dan mencapai puncaknya pada Januari 2025 dengan B40 sebagai capaian tertinggi di dunia.
Menurutnya, keberhasilan ini tidak lepas dari sinergi dan kolaborasi berbagai pihak. Ke depannya, pemerintah akan terus meningkatkan campuran biodiesel di dalam minyak solar di atas 40% untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Siap Produksi B50 Tahun Depan
Dalam kesempatan terpisah, Yuliot mengatakan B50 siap diproduksi mukai 2026. Dia menyebut, ketersediaan kuota Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sudah mencukupi untuk memproduksi B50.
FAME merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak sawit dengan metanol.
“Untuk ketersediaan FAME-nya, kita sudah siap untuk masuk di B50 tahun depan. Mudah-mudahan awal tahun [2026] bisa ditetapkan,” ucap Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (16/5/2025).
Dia mengaku, keyakinan tersebut dilandasi oleh evaluasi implementasi B40 yang berlaku sejak awal 2025. Menurut Yuliot, implementasi B40 berjalan dengan baik untuk public service obligation (PSO) maupun non-PSO.
Adapun penerapan B50 pada 2026 memerlukan tambahan lahan sawit seluas 2,3 juta hektare. Namun, kini dia menilai penerapan B50 tak memerlukan penambahan lahan sawit.
Dia menjelaskan, berdasarkan hasil koordinasi dengan Kementerian Pertanian, kebutuhan CPO untuk B50 masih tercukupi. Yuliot pun mengatakan penambahan lahan sawit baru dibutuhkan tatkala pemerintah akan memproduksi B60.
"Dengan adanya program replanting [penanaman kembali] yang dilakukan, ini [CPO] mencukupi kebutuhan. Jadi, mungkin penambahan lahannya tidak terlalu besar,” kata Yuliot.