Bisnis.com, JAKARTA — Pasar ekspor biodiesel berbasis sawit kini kembali terbuka setelah gugatan Indonesia atas Uni Eropa terkait sengketa biodiesel didukung oleh World Trade Organization (WTO).
Pasalnya, tindakan Eropa atas bea masuk imbalan/countervailing duties dinilai telah melanggar prinsip perdagangan adil.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mendorong pemangku kepentingan untuk memenuhi kebutuhan domestik yang beberapa tahun terakhir terus meningkat.
"Apa lagi jika kita masuk mandatori B50, kebutuhan biodiesel domestik makin besar dan mungkin tak tersisa untuk ekspor lagi," kata Tungkot kepada Bisnis, Senin (25/8/2025).
Sebagaimana diketahui, mandatori B50 belakangan ini direncanakan pemerintah akan diberlakukan tahun depan. Kendati demikian, keputusan terkait kebijakan tersebut masih dinantikan.
Tungkot menerangkan bahwa sejak tahun 2015, di mana pertama kali mandatori biodiesel dimulai, sebanyak 90%-95% produksi biodiesel sawit di Indonesia ditujukan untuk kebutuhan mandatori biodiesel domestik.
Baca Juga
"Hanya sedikit sisanya 5%-10% yang diekspor. Kebijakan biodiesel Indonesia dalam 10 tahun terakhir tetap sama yakni mengutamakan kebutuhan biodiesel domestik," jelasnya.
Meskipun, Tungkot menyebut terdapat sejumlah saran untuk membuat mandatori biodiesel lebih fleksibel. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa harga jual biodiesel ke pasar global lebih menarik di beberapa waktu tertentu.
"Jadi, jika harga biodiesel dunia lebih menarik diperbesar ekspor, jika kurang menarik harga dunia dipasarkan domestik," imbuhnya.
Dia menilai, dari segi bisnis konsep tersebut bisa dibenarkan, kendati dari sisi pemerintahan akan ditentang karena harus berkomitmen untuk mengurangi konsumsi solar fosil impor untuk menekan emisi dan membangun ketahanan energi domestik.
Untuk diketahui, sebelumnya Indonesia menggugat Uni Eropa ke WTO terkait produk biodiesel sawit asal Indonesia yang diperlakukan diskriminatif dan diberlakukan tarif dan tambahan tarif anti dumping.
Eropa menuding biodiesel sawit Indonesia disubsidi yang membuatnya kompetitif di pasar mereka. Alhasil, pihak Eropa menggunakan tarif antidumping ke biodiesel sawit Indonesia.
"Memang biodiesel sawit Indonesia di pasar EU sangat kompetitif dan mengalahkan harga biodiesel EU (berbasis rapeseed) tetapi bukan karena subsidi/dumping," tuturnya.
Adapun, perdagangan dikatakan dumping jika harga jual biodiesel sawit Indonesia ke Uni Eropa lebih murah dari harga biodiesel sawit yang dijual di pasar domestik.
Sementara, yang terjadi justru sebaliknya harga jual biodiesel domestik lebih murah dibanding harga jual biodiesel sawit di pasar Eropa. Oleh karena itu, tudingan Eropa tak berdasar dan pemberlakuan tarif anti dumping atas biodiesel sawit Indonesia jelas melanggar prinsip WTO.
Tungkot melihat beberapa tahun ke belakang Eropa tampaknya sudah melunak atau realistis melihat produk turunan sawit itu. Hal ini tercermin dari melunaknya Eropa atas sawit pada IUE-CEPA.
"Uni Eropa tampaknya lebih realistis setelah kebijakan resiprokal Trump menerapkan 19% untuk Indonesia dan 15% untuk Eropa sehingga mereka bisa mengimpor biodiesel dari Indonesia dan me-rexport ke negara lain termasuk AS," tuturnya.
Sebagai informasi, pemasok biodiesel ke pasar AS adalah negara-negara Uni Eropa seperti Italy, Spanyol, Belanda, German. Artinya, ke depan godaan untuk memperluas pasar ekspor produk sawit Indonesia termasuk biodiesel makin terbuka luas.