Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah telah merancang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 yang menjadi kiblat bagi pemerintah dan pelaku usaha dalam mengembangkan dan membangun industri nasional.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), RIPIN 2015-2035 diundangkan dan ditandatangani pada 6 Maret 2015 lewat Peraturan Pemerintah No 14.2015 tentang RIPIN 2015-2035.
Sedawarsa berlalu, jika dilihat dari sasaran indikator pembangunan industri pada tahun ini, nyaris sebagian besar gagal terwujud sesuai target. Indikator pembangunan industri lainnya seperti pertumbuhan sektor industri nonmigas jauh di bawah target RIPIN 2015.
Adapun, kala itu pemerintah membidik kinerja industri tumbuh 9,1% pada 2025. Sementara itu, pada tahun lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri hanya tumbuh di angka 4,75% [year-on-year].
Di sisi lain, kontribusi industri nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga ditargetkan tumbuh ke angka 27,4% yoy. Namun, faktanya hingga saat ini baru mencapai 18,98% yoy. Capaian tersebut bahkan jauh lebih rendah dari dua dasawarsa lampau di level 28%.
Lebih lanjut, jumlah tenaga kerja di sektor industri dalam RIPIN 2015 dicanangkan dapat mencapai 21,7 juta pada tahun ini. Namun, rata-rata kontribusi jumlah tenaga kerja manufaktur masih dikisaran 20 juta - 21 juta orang dalam 5 tahun terakhir.
Baca Juga
Bahkan, pertumbuhan proporsi tenaga kerja sektor industri manufaktur stagnan cenderung susut. Pada 2019, industri pengolahan nonmigas menyumbang 14,91% terhadap total angkatan kerja di Indonesia yaitu mencapai 136 juta orang (Februari 2019).
Sementara, kontribusinya mengalami penurunan hingga ke titik stagnan dalam dua tahun terakhir 2023-2024 di angka 13,83% dari total angkatan kerja di kisaran 147 juta - 152 juta orang.
Badai PHK
Penurunan kinerja industri makin tak terelakkan dengan berbagai kabar penutupan pabrik yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sektor industri, mulai tekstil, alas kaki, hingga peralatan listrik.
Melihat kondisi tersebut, Dosen Universitas Paramadina Muhammad Ikhsan mengatakan terdapat sinyal deindustrialisasi dini yang tampak dari sejumlah variabel industri tersebut.
"Kontribusi [industri] terhadap PDB kita pernah sampai 32% paling tinggi setelah krisis tahun 2000-an, tapi sekarang angkanya di 18% jadi cenderung turun kalau kita bandingkan dengan negara yang lain seperti China, Thailand atau lainnya. Kita mungkin sedikit lebih baik dari Filipina," jelasnya beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, jika melihat dari segi kinerja investasi dan ekspor industri pengolahan nonmigas, kondisinya relatif menggembirakan. Sepanjang 2024, ekspor manufaktur naik 5,33% dengan total nilai US$196,54 miliar dibandingkan tahun lalu.
Capaian ekspor tahun lalu itu berkontribusi 74,25% dari total nilai ekspor nasional yang mencapai US$264,70 miliar. Industri manufaktur juga memberikan andil terhadap capaian surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$31,04 miliar pada 2024.
Bahkan dari sisi realisasi investasi sepanjang tahun lalu tercatat mencapai Rp721,3 triliun atau berkontribusi 42,1% terhadap total realisasi investasi nasional sebesar Rp1.714,2 triliun.