Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Deindustrialisasi Alarm Target Ekonomi Presiden Prabowo

Kinerja manufaktur Indonesia kalah dari Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam. Target pertumbuhan ekonomi 8% dari Presiden Prabowo bakal sukar digapai.
Kahfi,Afiffah Rahmah Nurdifa
Kahfi & Afiffah Rahmah Nurdifa - Bisnis.com
Jumat, 28 Februari 2025 | 14:04
PT Sanken Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri MM2100 Cikarang Barat, Bekasi/Dok. Sanken.
PT Sanken Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri MM2100 Cikarang Barat, Bekasi/Dok. Sanken.

Bisnis.com, JAKARTA- Negara manapun akan berjuang mati-matian menghidupkan sektor manufaktur untuk memperluas lapangan kerja, dan menopang pertumbuhan ekonomi. Persoalannya, kinerja manufaktur nasional semakin goyah seiring badai PHK.

Sektor manufaktur sejauh ini dijadikan katalisator terbesar perekonomian. Lewat sektor ini, pembukaan luas lapangan kerja tercipta, produk bernilai tambah dihasilkan, kinerja ekspor diperkuat hingga pada akhirnya menopang pertumbuhan ekonomi alias Produk Domestik Bruto (PDB).

Sayangnya, belakangan kinerja industri nasional malah digulung berbagai peristiwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jatuhnya raksasa tekstil Sritex, penutupan pabrik Sanken, serta PHK beberapa pabrik di Jawa Barat menambah daftar panjang kelesuan kinerja industri tersebut.

Wajah industri Indonesia jadi lebih muram dibandingkan beberapa negara lain di Asean. Malaysia, Vietnam, dan Thailand bisa mengoptimalkan kinerja industri sebagai kunci pertumbuhan ekonomi sekaligus penyerap tenaga kerja yang signifikan.

Merujuk data yang dirilis Asean Statistical Year Book, kinerja sektor manufaktur seiring sejalan dengan pengentasan pengangguran terbuka, geliat ekspor, dan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Malaysia, misalnya, dengan jumlah angkatan kerja sebanyak 16 juta orang pada 2022, tingkat pengangguran hanya 3,9%. Penyerapan tenaga kerja dari sektor manufaktur menembus 16,8%.

Sementara Thailand, pada 2022 jumlah angkatan kerja mencapai 39,9 juta orang. Penyerapan tenaga kerja dari manufaktur mencapai 16%, dengan tingkat pengangguran hanya 1,3%.

Paling mengesankan adalah kinerja manufaktur Vietnam. Sektor manufaktur jadi tulang punggung perekonomian, dengan serapan tenaga kerja mencapai 23,3% dari jumlah angkatan kerja 51,7 juta orang. Alhasil, tingkat pengangguran Vietnam hanya berkisar 2,1%.

Dari data-data itu, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pemegang rekor tingkat pengangguran tertinggi di antara negara Asean. Salah satu faktornya adalah penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur yang kalah, bahkan dari Filipina dan Vietnam.

Di sisi lain, laju manufaktur yang terhambat juga membuat pertumbuhan ekonomi terseok. Pascapandemi, negara-negara Asean seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam tancap gas.

Selepas masa pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi di kisaran 5%. Sebaliknya, Malaysia menorehkan pertumbuhan hingga 8,7% pada 2022, sedangkan Vietnam dan Filipina masing-masing, 8% dan 7,6%.

Kontribusi manufaktur nasional terbilang rendah, dan terus tergerus dari level 28% pada dua dasawarsa lampau, terkikis hingga kisaran 18,3% pada 2022. Pada saat bersamaan, kontribusi manufaktur negara Asean lainnya justru melesat.

Malaysia pada 2022 memiliki catatan kontribusi manufaktur terhadap PDB sebesar 23,4%, Filipina sebanyak 17,2%. Sedangkan kontribusi manufaktur terhadap PDB Thailand dan Vietnam, berkisar 27% dan 24,8%.

Hal yang sama juga terjadi dari sisi ekspor. Melemahnya sektor manufaktur, membuat kinerja ekspor Indonesia sulit menandingi kinerja ekspor seperti Malaysia dan Vietnam.

Problematika menahun, ditambah dengan gelombang PHK yang berlanjut pada awal tahun ini, membuat kalangan pengamat pesimistis terhadap capaian pertumbuhan ekonomi 8%.

Guru Besar Universitas Paramadina Ahmad Badawi Saluy mengamini kondisi demikian. Menurutnya, terlalu berat menggapai target pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana dipatok Presiden Prabowo, jika industri manufaktur terseok.

“Variabel-variabelnya sangat tidak mendukung, pertumbuhan industri terseok-seok, itu sangat tergantung dan dipengaruhi situasi dan kondisi politik, penegakan hukum yang tidak konsisten, itu juga akan menjadi bahan pertimbangan orang mau investasi ke indonesia,” ungkap Ahmad beberapa waktu lalu.

Tidak hanya itu, persoalan perizinan industri serta faktor perilaku koruptif jadi momok tersendiri. “Mereka [investor] akan butuh kondisi negara tujuan investasi yang nyaman, aman, ada kepastian hukum, prosedur tidak berbelit, birokrasi tidak korup, dsb,” simpul Ahmad.

DEINDUSTRIALISASI & INVESTASI

Lebih jauh, Pengajar Universitas Paramadina Muhamad Ikhsan menilai kondisi sekarang sudah bisa disebut sebagai deindustrialisasi dini. Hal ini tampak, lanjutnya, dari nilai tambah industri pengolahan dan kontribusinya terhadap PDB semakin menurun.

“PDB kita pernah sampai 32% paling tinggi setelah krisis thn 2000-an tapi sekarang angkanya di 18,3% jadi cendrung turun kalau kita bandingkan dengan negara yang lain seperti China, Thailand atau lainnya, kita mungkin sedikit lebih baik dari Filipina,” ungkapnya.

Bahkan, dia mengungkapkan untuk berkompetisi dengan Vietnam, sektor manufaktur Indonesia telah kalah jauh. “Indonesia tertinggal dalam ranking maupun score global inovation index, ini menjelaskan bahwa memang deindustrialisasi ini terjadi, walaupun tidak hanya di indonesia saja,” tutupnya.

Tren inipun mempengaruhi langkah Indonesia dalam perlombaan memburu investasi. Berdasarkan catatan Asean Report Investment 2024, tingkat investasi asing langsung terkait manufaktur Indonesia mencapai US$14 miliar pada 2023, tetapi aliran investasi keseluruhan menurun 15%.

Sebaliknya, FDI di Vietnam naik ke rekor US$18,5 miliar, dari US$17,9 miliar pada tahun 2022. Manufaktur tetap menjadi penerima terbesar, diikuti oleh sektor real estate dan pembangkit listrik.

Alhasil, sebuah petaruhan besar bagi perekonomian nasional ke depan dengan kondisi manufaktur yang kendur. Bisakah target pertumbuhan 8% tetap digapai?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper