Bisnis.com, JAKARTA- Terhitung 4 tahun berjalan pemerintah mengorbankan potensi penerimaan negara dari sektor energi untuk program gas murah industri atau HGBT dalam rangka menggenjot kinerja 7 subsektor industri pengolahan.
Adapun, 7 subsektor yang mendapatkan stimulus gas murah seperti pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Setelah 4 tahun berlangsung, nyatanya kinerja industri tersebut masih terus terbentur.
Untuk diketauhi, total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021-2023 sebesar Rp51,04 triliun. Anggaran tersebut digunakan demi menekan harga gas ke level US$6 per MMBtu. Harga gas domestik ini lebih rendah dibandingkan U$9,82 per MMBtu harga rata-rata gas di Asia seperti dikutip dari Reuters.
Kepala Center of Industry, Trade, and Invesment Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan pemerintah perlu mengkaji kembali sektor-sektor industri prioritas yang memerlukan HGBT dan dapat memberikan nilai tambah lebih secara keekonomian.
"Ada sektor-sektor yang betul-betul tidak bisa di-switching atau mungkin hanya bisa mengandalkan gas, itu proporsinya harus lebih besar untuk diberikan HGBT," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/5/2024).
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan HGBT, Andry menyebut pemerintah dapat meberlakukan proporsi terhadap pemberian gas industri. Namun, hal ini dapat memicu penurunan porsi dari sektor lain yang sudah lebih dulu memperoleh.
Baca Juga
"Artinya ada penurunan yang besar ke sektor tertentu dari sektor lain ya itu tergantung dari segi pemakaian dari gas nya sendiri," tuturnya.
Untuk memberikan proporsi pasokan gas, artinya perlu ada evaluasi penggunaan HGBT di 7 subsektor pengguna. Optimalisasi penggunaan gas murah industri dapat terlihat dari tingkat utilisasi kenaikan produksi dalam beberapa tahun terakhir.
"Tapi tentu perlu jangka waktu dari penyesuaiann harga energi itu sendiri. Memang pada akhirnya itu akan menurunkan biaya produksi dari industri itu sendiri dan itu akan berpengaruh ke utilisasi produksi," terangnya.
KINERJA INDUSTRI MENURUN
Kehadiran HGBT mestinya dapat menekan ongkos produksi dan meningkatkan produktivitas hingga margin keuntungan industri pengguna. Pasalnya, ongkos energi cukup signifikan membebani produksi.
Sejauh mana HGBT menekan beban produksi terlihat dari kinerja salah satu emiten keramik, PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) yang mencatat penurunan total beban produksi ARNA dari Rp1,55 triliun sepanjang 2023 dari tahun 2022 sebesar Rp1,61 triliun atau turun 4,11% year-on-year (yoy).
Hal ini didorong penurunan beban pabrikasi, termasuk ongkos energi, yang turun 4,82% menjadi Rp969 miliar dari sebelumnya Rp1,08 triliun. Dari sisi bahan baku yang digunakan pun turun 4,13% dari Rp527 miliar pada 2022 menjadi Rp505,32 miliar.
Persoalannya, penurunan beban produksi tersebut sejalan dengan turunnya penjualan sepanjang 2023 menjadi Rp2,44 triliun atau turun 5,38% dari tahun sebelumnya Rp2,58 triliun.
Kondisi tersebut menggerus laba bersih ARNA yang tercatat senilai Rp445 miliar sepanjang 2023 atau turun 22,72% dari laba tahun 2022 senilai Rp576,21 miliar.
Di sisi lain, emiten keramik terafiliasi Hermanto Tanoko PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. (CAKK) mengalami penurunan kinerja. Sepanjang 2023, CAKK membukukuan pendapatan Rp208,63 miliar sepanjang 2023 atau turun 16,65% dari tahun sebelumnya Rp250,32 miliar.
CAKK tercatat merugi sebesar Rp34,08 miliar pada 2023 setelah tahun sebelumnya mencatat laba bersih Rp10,55 miliar. Hal ini lantaran beban penjualan yang membengkak hingga 97,76% yoy atau senilai Rp7,98 miliar, ditopang kenaikan ongkos angkut.
Dari sisi produksi, harga pokok produksi CAKK turun 22,5% dari Rp265,7 miliar pada 2022 menjadi Rp205,78 miliar pada 2023. Beban overhead pabrik turun 14,92% dari Rp116,54 miliar menjadi Rp136,98 miliar.
Hal ini menunjukkan beban produksi berhasil diturunkan kendati beban ongkos angkut menjadi sumber melorot nya kinerja perusahaan pada tahun lalu.