Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menganggarkan dana cost recovery atau pengembalian biaya kontraktor seluruhnya sebesar US$8,3 miliar setara dengan Rp129,23 triliun (asumsi kurs Rp15.570 per dolar AS) tahun ini.
Alokasi cost recovery itu lebih tinggi dari realisasi cost recovery yang diberikan pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sepanjang 2023 di angka US$7,7 miliar atau sekitar Rp119,88 triliun. Kendati demikian alokasi cost recovery tahun ini tidak bergeser dari target 2023 di angka yang sama, US$8,3 miliar.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan anggaran cost recovery tahun ini diharapkan tidak bergeser dari pagu yang telah ditetapkan pemerintah. Kendati, kata Tjip sapaan karibnya, sejumlah KKKS telah mengajukan peralihan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery saat ini.
“Ada beberapa KKKS yang akan mengusulkan perubahan dari gross split ke cost recovery tetapi tetap kita akan targetkan untuk tidak melampui bujet yang diberikan sebesar US$8,3 miliar,” kata Tjip saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Asumsinya tahun ini, pendapatan kotor atau gross revenue industri hulu migas dapat mencapai US$33,7 miliar atau lebih rendah dari pendapatan sepanjang tahun sebelumnya di level US$34,3 miliar. Lewat asumsi itu, bagian pendapatan negara dikunci di angka US$12,9 miliar dan bagian kontraktor US$12,5 miliar. Sisanya, cost recovery sebesar US$8,3 miliar.
Adapun komponen utama cost recovery itu berkisar pada biaya kegiatan produksi mencapai US$4,1 miliar, eksplorasi dan pengembangan US$2,3 miliar, depresiasi mencapai US$1,1 miliar, biaya administrasi mencapai US$0,6 miliar, investment credit sekitar US$0,1 miliar dan sisanya terkait dengan unrecovered costs.
Baca Juga
Tjip mengatakan lembagannya bakal terus meningkatkan efisiensi di sekitar pos-pos anggaran yang masih bisa dioptimalkan dalam kaitannya dengan cost recovery tersebut.
Apalagi, kata dia, beberapa KKKS ingin bermigrasi ke skema pengambalian biaya kontraktor tersebut. “Kami berusaha untuk melakukan efisiensi di posisi-posisi yang memang kita bisa lakukan,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian ESDM mencatat sebagian lapangan migas tidak dapat dikembangkan lantaran terkendala urusan keekonomian. Kendala investasi itu disebabkan karena kontrak bagi hasil atau production cost sharing (PSC) yang dinilai tidak menguntungkan bagi KKKS.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad mengatakan, lebih dari lima PSC terpaksa jalan di tempat lantaran terganjal isu keekonomian tersebut.
Noor menuturkan, saat ini beberapa KKKS tengah mengajukan permohonan insentif tambahan dan kemungkinan peralihan kontrak dari gross split rezim lama menjadi cost recovery.
“Tidak bisa jalan karena belum ekonomis,” kata Noor saat ditemui di sela-sela agenda the 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas Industry 2023 (ICIUOG) di Badung, Bali, Kamis (21/9/2023).
Kementerian ESDM mencatat sebagian lapangan yang mengalami kesulitan itu berasal dari portofolio milik PT Pertamina Hulu Energi, termasuk di dalamnya PT Pertamina Hulu Rokan.
Adapun, rezim gross split lama yang mayoritas dipegang PHE saat ini hasil dari beberapa lapangan migas terminasi yang diambil alih PHE. Beberapa lapangan yang menggunakan gross split lama ini, di antaranya Offshore North West Java, Sanga Sanga, East Kalimantan, dan Attaka.
Adapun, PT Medco Energi Internasional Tbk. yang memiliki Blok Corridor telah mendapat persetujuan peralihan skema kontrak menjadi cost recovery akhir tahun lalu.