Bisnis.com, JAKARTA - Industri salus per aquam (SPA) mendesak revisi Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Desakan revisi UU tersebut dilakukan karena pelaku usaha menolak industri spa dikategorikan sebagai jasa kesenian dan hiburan.
Keresahan tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Indonesia Wellness Spa Professional Association (Iwspa), Yulia Himawati, dalam konferensi pers, Kamis (18/1/2024).
“Itu buat kami kecewa dan membuat kami melihat kembali kepada kementerian yang menaungi kami yakni Kemenparekraf,” kata Yulia Himawati, Kamis (18/1/2024).
Dia menilai regulasi tersebut bertentangan dengan undang-undang yang sudah ada sebelumnya, seperti UU No.10/2010 tentang Kepariwisataan. Pasal 14 secara jelas menyebut bahwa usaha SPA bukan termasuk kegiatan hiburan dan rekreasi.
Sementara, dalam pasal 50 dan 55 UU No.10/2010, pemerintah mengelompokkan jasa spa ke dalam jasa kesenian dan hiburan.
Baca Juga
“Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 meliputi diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa,” bunyi pasal 55 beleid itu.
Alih-alih mengelompokkan jasa spa sebagai jasa hiburan atau rekreasi, spa masuk ke dalam perawatan kesehatan. Selain itu, spa merupakan bagian dari wellness, sehingga industri ini lebih tepat disebut sebagai spa wellness karena mencakup kesehatan promotion dan prevention.
Ini juga diperkuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.2/2023, di mana SPA sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami.
“Sangat aneh kalau dalam Undang-undang tersebut kita digolongkan ke jenis hiburan,” ujarnya.
Lantaran dikategorikan sebagai jasa kesenian dan hiburan, maka industri spa juga dikenakan pajak hiburan maksimal 75%.
Keluhan serupa sempat diungkapkan oleh Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti). Bahkan, Asti telah mengajukan judicial review atau pengajuan yudisial ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan terhadap UU No.1/2022.
Ketua Asti, Mohammad Asyhadi, menyampaikan, pemerintah dalam menyusun UU No.1/2022 tidak melibatkan para pelaku usaha. Regulasi ini juga dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
“Kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kita ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024,” kata Didi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).
Untuk diketahui, pemerintah melalui UU No.1/2022 menetapkan PBJT atas jasa hiburan untuk penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu seperti makanan dan minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan.
Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau SPA, ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.