Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Ancaman Tarif Tambahan Trump, Pajak Digital Makin Sulit Dikejar?

Presiden AS Donald Trump mengancam tarif tambahan bagi negara yang menerapkan pajak digital.
Presiden AS Donald Trump berpidato dalam penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, DC, AS, Kamis, 31 Juli 2025./Bloomberg-Eric Lee
Presiden AS Donald Trump berpidato dalam penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, DC, AS, Kamis, 31 Juli 2025./Bloomberg-Eric Lee

Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan kepada negara-negara yang memiliki atau menerapkan pajak terhadap perusahaan digital. Ancaman Trump menjadi peringatan dini mengenai masa depan sistem pemajakan ekonomi digital, termasuk Indonesia.

Dalam catatan Bisnis, inisiasi untuk memajaki ekonomi ditital telah dirintis sejumlah negara dalam beberapa tahun ini. OECD, misalnya, telah membentuk Inclusive Framework Base Erosion and Profit Shifting alias IF BEPS, mereka selama bertahun-tahun membahas skema yang tepat untuk mengenakan pajak terhadap ekonomi digital.

Namun demikian, upaya tersebut seringkali terhalang oleh kebijakan Amerika Serikat. 

Adapun baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah melontarkan ancaman berupa tarif tambahan untuk barang asal negara yang memberlakukan pajak digital.

Setelah mengumumkan AS menarik diri dari penerapan pajak minimum global, Presiden Trump kini mengancam penambahan tarif baru bagi barang impor dari negara-negara yang memberlakukan pajak digital.

Ancaman baru itu disampaikan Trump pada media sosialnya hari ini, Selasa (26/8/2025). Padahal, kebijakan tarif impor resiprokal yang dikenakannya terhadap negara-negara mitra dagang AS baru saja resmi berlaku awal bulan ini. 

Indonesia, dalam hal ini, berhasil melakukan negosiasi dengan pemerintahan Trump sehingga tarif impor yang berlaku turun dari sebelumnya 32% menjadi 19%. 

Sebagaimana diketahui, banyak grup perusahaan multinasional asal AS yang bergerak di bidang teknologi alias big tech, turut menjadi subyek dari pajak minimum global 15% di masing-masing negara yang menerapkan aturan tersebut. Contohnya, Alphabet (Google), Meta (Facebook, WhatsApp), Apple dan Amazon.

"Dengan ini, saya menegaskan kepada semua negara dengan Pajak Digital, Undang-Undang, Aturan, atau Regulasi, bahwa kecuali tindakan diskriminatif ini dihapuskan, saya sebagai Presiden AS akan mengenakan tarif tambahan yang substansial atas ekspor negara tersebut ke AS, serta membatasi ekspor teknologi dan chip berstandar tinggi milik kami," tulis Trump dalam unggahan di media sosialnya dikutip dari Reuters, Selasa (26/8/2025).

Trump menilai aturan pajak digital dirancang untuk merugikan dan mendiskriminasi perusahaan teknologi AS, sembari memberi kelonggaran kepada perusahaan asal China yang menjadi pesaing utama. 

Sejumlah negara, khususnya di Eropa, selama ini mengenakan pajak atas pendapatan penjualan perusahaan penyedia layanan digital, termasuk Google, Meta, Apple hingga Amazon. Isu ini telah lama menjadi sumber ketegangan dagang lintas pemerintahan AS.

Potensi Pajak 

Kementerian Keuangan alias Kemenkeu memperkuat regulasi perpajakan untuk mengoptimalkan penerimaan dari ekonomi digital yang telah berkembang semakin pesat.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal menjelaskan bahwa struktur ekonomi dalam beberapa tahun terakhir telah bergeser ke arah digitalisasi. Pergeseran itu terlihat dari dua faktor.

Pertama, kontribusi sektor jasa yang semakin meningkat atas pmbentukan produk domestik bruto (PDB). Pada 2024, sektor jasa berkontribusi hingga 54,95% terhadap PDB—jauh lebih tinggi dari sektor manufaktur (18,98%) dan pertanian (12,61%).

Kedua, nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia yang semakin signifikan. Data yang diolah Kemenkeu mencatat bahwa nilai transaksi digital di Indonesia mencapai Rp1.454 triliun pada 2024—meningkatkan hampir empat kali lipat dari Rp391 triliun pada 2018.

“Kita melihat peluang dari ekonomi digital yang sangat besar, maka kita untuk meningkatkan kepatuhan dan memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak, kita coba menjelajah juga ke daerah perpajakan digital,” ungkap Yon dalam diskusi dari ISEI Jakarta, Selasa (26/8/2025).

Untuk itu, dia mengungkapkan bahwa ada tiga kebijakan yang sudah dikeluarkan Kemenkeu yaitu pemajakan digital, penyesuaian pajak kripto, dan persiapan penerapan global minimum tax.

Menurutnya, langkah ini bertujuan menciptakan kepastian hukum dan kemudahan administrasi sekaligus menjaga keadilan dalam ekosistem perpajakan nasional.

Pertama, pajak digital berbasis pemotongan otomatis yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 37/2025. Dengan mekanisme baru ini, Yon menyatakan pedagang di platform lokapasar digital tidak lagi perlu menghitung, menyetor, atau melaporkan pajaknya secara manual.

“Bagi pelaku usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar, potongan pajak ini tetap bisa menjadi kredit pajak. Sementara bagi UMKM yang menggunakan tarif final 0,5%, mekanisme ini memberi kemudahan signifikan,” kata Yon.

Kebijakan ini juga dinilai menciptakan level playing field atau area persaingan yang seimbang antara pelaku usaha konvensional (fisik) dan digital.

Kedua, penyesuaian aturan pajak kripto melalui PMK No. 50/2025. Mekanisme tata cara pemajakan baru itu dibuat akibat perpindahan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK. 

Kini, pajak kripto dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,21% untuk transaksi di platform dalam negeri dan tarif PPh 1% untuk transaksi di platform luar negeri (PMSN).

“Nah untuk PPN [pajak pertambahan nilai] saat ini tidak lagi kita kenakan karena kripto memang sudah disetarakan dengan alat instrumen keuangan yang lain di bawah pengawasan OJK yang tentunya juga tidak dikenakan PPN,” ucap Yon.

Ketiga, pemerintah juga sudah menerapkan global minimum tax alias pajak minimum global berdasarkan PMK No. 136/2024, sejalan dengan komitmen lebih dari 50 negara lain. Akibatnya, kini Kemenkeu berkoordinasi asosiasi pengusaha dan kementerian/lembaga terkait sedang menyusun skema insentif baru untuk industri.

“Insentif lama seperti tax holiday atau tax allowance perlu disesuaikan. Kalau kita tetap beri insentif pajak 0%, negara asal investor bisa memungut pajak itu di negaranya. Jadi kami mencari skema baru yang tetap menarik bagi investasi,” jelas Yon.

Apa Pengaruhnya ke Indonesia?

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan, ancaman Presiden Trump dialamatkan kepada baik pemberlakuan regulasi pajak digital maupun pajak minimum global. Masalahnya, pemerintah Indonesia dinilai tidak akan mengarah pemberlakuan kebijakan tersebut.

Pajak digital, atau digital service tax, itu terkait dengan rezim pajak internasional sebagaimana tercantum pada Pilar I Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Rezim itu meliputi pengaturan perpajakan internasional berupa sistem dan prinsip untuk memajaki perusahaan digital dan multinasional. 

Namun, sebagaimana diketahui penyelesaian solusi Pilar I BEPS sampai saat ini belum rampung. Tidak hanya itu, Fajry menyebut Indonesia dan negara-negara yang menyepakati untuk penerapan Inclusive Framework (IF) BEPS sebenarnya sudah berkomitmen untuk tidak mengeluarkan kebijakan unilateral untuk perusahaan digital. 

"Trump mengancam dua hal yakni DST dan GMT [global minimum tax]. Untuk DST saya rasa Pemerintah kita tidak akan ke sana, saya yakin komitmen Pemerintah untuk konsisten pada pendekatan multilateral," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (26/8/2025). 

Sementara itu, untuk pajak minimum global, Fajry memaparkan bahwa rezim pajak itu lebih untuk mengatasi perang tarif pajak penghasilan badan, yang dikenal dengan istilah race to the bottom.

Selama ini, terangnya, tarif PPh badan terus menurun dan terjadi secara global. Untuk itu, rezim pajak minimum global mencegah terjadinya hal tersebut sekaligus mencegak praktik penghindaran pajak (tax avoidance) melalui low-tax jurisdiction. 

Konteksnya dengan ancaman Trump, pajak minimum global sebelumnya disepakati oleh negara-negara adidaya Kelompok Tujuh atau Group of Seven (G7) pada KTT terakhir di Kanada, Juni 2025 lalu, untuk mendukung sistem baru yang dapat mengecualikan perusahaan multinasional asal AS sebagai subyek dari pajak minimum global 15% . 

Dukungan tersebut disampaikan dalam pernyataan resmi Kanada selaku Ketua Presidensi G7 2025 pada Minggu (29/6/2025). Pernyataan tersebut menegaskan dukungan atas usulan sistem "side-by-side" yang diajukan oleh Menteri Keuangan AS awal tahun ini. 

Dalam sistem ini, perusahaan multinasional asal AS akan dikecualikan dari dua mekanisme pajak minimum global yakni aturan Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Profits Rule (UTPR), sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan aturan pajak minimum domestik di AS yang sudah berjalan.

Namun demikian, Fajry meyakini itu baru kesepakatan di level G7. Sebagaimana diketahui, kesepakatan yang lahir di antara negara-negara anggota G7 maupun G20 cenderung bersifat tidak mengikat atau non-binding. 

"Saya sendiri yakin, AS dan negara G-7 lainnya akan meminta “persetujuan” dengan negara-negara yang Inclusive frameworks atas kesepakatan dalam KTT-G7 tersebut," ujar Fajry.

Adapun terkait dengan dampaknya ke Indonesia, dia menilai RI seharusnya tetap akan bisa mengenakan pajak minimum global. Hal itu selama AS masih akan meminta persetujuan negara-negara Inclusive Framework, terkait dengan pengecualian bagi perusahaan-perusahaan multinasional dari negara mereka. 

"Selama belum ada kesepakatan dengan negara-negara Inclusive Frameworks maka Indonesia bisa mengenakan pajak minimum global bagi perusahaan multinasional asal Amerika Serikat. Tentunya, untuk meminimalisir risiko, Pemerintah kita bisa melakukan korespondensi dengan perwakilan US Treasury," tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro