Bisnis.com, MALUKU UTARA – Harita Nickel mengoperasikan fasilitas pengolahan feronikel di Pulau Obi dengan teknologi penangkap panas, serta sistem pengelolaan air yang bisa digunakan kembali dalam proses manufaktur.
PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel memproduksi feronikel sebagai produk turunan dari nikel saprolit yang ditambang di Pulau Obi, Maluku Utara. Ke depan, perusahaan juga bakal melengkapi hilirisasi dengan pendirian pabrik baja nirkarat (stainless steel).
Harita Nickel melalui entitas anaknya PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF) dapat memproduksi feronikel pada salah satu smelternya yang berada di Pulau Obi, Maluku Utara. Fasilitas smelter tersebut menggunakan sistem pengolahan pirometalurgi bernama Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Head of Technical Support Harita Nickel Rico Windy Albert menuturkan smelter yang dioperasikan oleh HJF memiliki sebanyak 8 jalur produksi pada yang dapat mengolah 8 juta metrik ton bijih nikel saprolit per tahunnya.
Dari jumlah tersebut, perusahaan dapat menghasilkan sebanyak 800.000 metrik ton feronikel per tahun.
Rico mengatakan, untuk mendukung operasional fasilitas smelter ini perusahaan memiliki 4 unit pembangkit listrik tenaga uap yang masing-masing menghasilkan tenaga listrik 150 megawatt atau total keseluruhan 600 megawatt.
Rico memaparkan, proses pembuatan feronikel dimulai dari screening bijih nikel. Hal ini dilakukan untuk memisahkan mineral nikel dengan batuan dengan ukuran di atas 2 sentimeter.
Bijih nikel saprolit kemudian dikeringkan pada dryer dengan suhu 300 derajat celsius. Rico menuturkan, pengeringan dilakukan hingga bijih tersebut memiliki kadar air sekitar 20%.
“Bijih nikel saprolit yang belum dikeringkan pada tahap awal memilki kadar air sekitar 35%,” kata Rico saat ditemui Tim Jelajah EV di Kawasi, Pulau Obi, Maluku Utara pada Kamis (7/12/2023).
Setelah dikeringkan, bijih-bijih tersebut kemudian dimasukkan ke dalam rotary kiln untuk melakukan proses kalsinasi. Pada tahap ini, juga terjadi tahap pre reduksi pada suhu 900 derajat celsius.
Bijih nikel kemudian dimasukkan ke dalam tungku pembakaran elektrik atau electric furnace untuk dilebur. Pada electric furnace tersebut, proses peleburan akan memisahkan feronikel dengan bahan lain yang nantinya menjadi limbah sisa produksi yang disebut slag.
Setelah keluar dari furnace, feronikel dalam bentuk cair akan dimasukkan ke dalam mesin cetak.
“Cetakan feronikel yang dihasilkan akan berbentuk ingot dengan berat sekitar 25 kilogram per ingot-nya,” tambah Rico.
Selanjutnya, feronikel yang telah tercetak kemudian diletakkan pada ruang terbuka terlebih dahulu untuk didinginkan. Rico menuturkan, feronikel yang diproduksi Harita Nickel memiliki kadar nikel sekitar 11% dari sebelum diolah pada bijih saprolit dengan kadar sekitar 1,7%.
Dia melanjutkan, feronikel-feronikel tersebut kemudian dapat diolah lagi menjadi baja nirkarat (stainless steel).
Rico menuturkan, perusahaan juga berupaya meningkatkan efektivitas penggunaan energi selama proses pembuatan feronikel. Hal ini dilakukan dengan menerapkan sistem heat recovery pada setiap tahap pembuatan feronikel.
Dia menjelaskan, tenaga panas berlebih yang dihasilkan pada proses peleburan di electric furnace akan dimanfaatkan pada proses kalsinasi di rotary kiln. Kemudian, tenaga panas berlebih pada proses kalsinasi akan digunakan pada proses sebelumnya, yaitu pengeringan bijih nikel.
“Heat recovery ini agar seluruh tenaga yang dihasilkan pada gasifikasi batu bara di PLTU kami dapat digunakan secara efektif,” pungkasnya.
Selain itu, smelter HJF inipun memiliki sistem pengelolaan air yang bisa dimanfaatkan kembali dalam proses manufaktur. “Kami memiliki kolam penampungan untuk mengendapkan air hujan dan air bekas pengolahan nikel, kami pompa hingga bisa digunakan smelter, jadi tidak terbuang,” kata Rico.