Bisnis.com, JAKARTA - Rencana India untuk memungut pajak ekspor beras pratanak (parboiling rice) sebesar 20 persen dinilai tak memberikan dampak besar bagi Indonesia.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, sebagian besar impor beras dari India berupa beras patahan (broken rice), yang mana sebagian besar digunakan untuk industri. Oleh karena itu, adanya kebijakan tersebut tidak akan memberikan dampak yang besar bagi Indonesia.
“Bagi Indonesia, dampaknya tidak terlalu besar,” kata Khudori kepada Bisnis, Selasa (29/8/2023).
Kendati demikian, Indonesia bisa saja terkena dampak tidak langsung dari kebijakan tersebut. Dampak itu, kata dia, dalam bentuk harga beras yang tinggi setelah India resmi menetapkan kebijakan pungutan pajak sebesar 20 persen untuk beras pratanak.
Di sisi lain, Khudori melihat kebijakan beras yang dibuat India masih sangat mungkin berubah. Menurutnya, selain kondisi domestik yang tengah menghadapi inflasi tinggi terutama inflasi pangan, serta tantangan dalam produksi komoditas pertanian termasuk padi, kebijakan tersebut tidak lepas dari konteks politik. Pasalnya, pemilu yang akan digelar di India akan kembali diikuti oleh rezim yang tengah berkuasa.
“Dari sisi ini agak sulit dipahami kebijakan India yang amat drastis itu. Kebijakan itu hanya masuk akal dipahami dalam konteks kontestasi pemilu,” ujarnya.
Baca Juga
Sebelum berencana untuk mengenakan pajak ekspor sebesar 20 persen untuk beras pratanak, India sudah lebih dulu mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk memperketat ekspor komoditas pangannya.
Pada Juli 2023, India telah melarang ekspor beras patah (broken rice) dan beras putih non-basmati. India juga membatasi pengiriman gandum dan gula, serta membatasi penimbunan beberapa hasil panen.
Selain itu, negara ini tengah mempertimbangkan untuk menghapus pungutan impor sebesar 40 persen untuk gandum, tomat, bawang dan biji-bijian dari cadangan negara untuk meningkatkan pasokan domestik.