Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai pembuatan aturan pelarangan truk sarat muatan atau over dimension over loading (ODOL) membutuhkan campur tangan Presiden.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan masalah ODOL tidak bisa diselesaikan hanya melalui keterlibatan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Direktorat Jenderal Bina Marga, dan Korlantas Polri. Menurutnya, keterlibatan Presiden dalam regulasi zero ODOL diperlukan agar ada kebijakan yang komprehensif dan diterapkan secara konsisten.
“Sebaiknya Presiden juga turun tangan melalui Instruksi Presiden, karena pembenahan harus dimulai dari hulu hingga hilir. Kalau hanya Kemenhub atau Dirjennya saja saya rasa tidak akan sanggup,” jelasnya saat dihubungi, Kamis (2/2/2023).
Djoko menjelaskan, salah satu faktor yang menghambat pemberlakuan zero ODOL adalah sistem logistik nasional yang masih memiliki banyak masalah. Penyelesaian masalah tersebut akan memerlukan keterlibatan banyak kementerian/lembaga dan juga asosiasi terkait.
Dia mengatakan, selain Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Kepolisian, pembenahan sistem logistik salah satunya juga memerlukan keterlibatan Kementerian Perindustrian untuk berkoordinasi dengan Kemenhub untuk spesifikasi kendaraan barang yang perlukan.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga harus terlibat dalam mengatur sistem logistik nasional. Selanjutnya, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Dalam Negeri juga masing – masing dapat mengatur sistem logistik nasional secara komprehensif dan mengawasi pelayanan uji berkala di Pemerintah Daerah.
Baca Juga
“Akar masalahnya itu banyak sekali, sehingga butuh keterlibatan hingga 10 Kementerian/Lembaga,” lanjutnya.
Dia melanjutkan angka kecelakaan lalu lintas akan semakin meningkat jika angkutan ODOL masih terus dibiarkan melintas. Data dari Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tahun 2022, kendaraan ODOL menjadi penyebab 349 kecelakaan dalam kurun lima tahun terakhir. Secara rinci, 107 kasus pada 2017, 82 kasus pada 2018, 90 kasus pada 2019, 20 kasus pada 2020, dan 50 kasus pada 2021.
Djoko juga mengatakan sensitivitas pelaku usaha, baik pemilik barang maupun pemilik truk terhadap keselamatan pengemudi sangat rendah. Perlindungan keselamatan terhadap pengemudi dan keluarganya dinilai masih sangat minim.
“Jika terjadi kecelakaan lalu lintas, pengemudi dalam kondisi hidup dipastikan dijadikan tersangka. Namun jika pengemudi meninggal, maka keluarganya yang akan merana, tidak ada jaminan dari pemilik truk maupun pemilik barang,” tambahnya.
Selain itu, masalah pungutan liar atau pungli untuk angkutan barang juga masih menghambat pemberlakuan zero ODOL. Apalagi, pungutan tersebut akan ditanggung oleh pengemudi truk, bukan pengusaha truk atau pemilik barang. Padahal penghasilan pengemudi tidak sebanding dengan barang yang diangkutnya.
Djoko melanjutkan, kehadiran truk angkutan ODOL sejauh ini dinikmati oleh pengusaha, khususnya pemilik barang walaupun melanggar aturan. Menurutnya, sejak rencana zero ODOL ini didengungkan pada 2017 lalu, para pengusaha kerap meminta penundaan dan tidak menanggapi ajakan untuk berdiskusi secara serius.
Dia berharap pemerintah segera merancang kebijakan yang komprehensif terkait zero ODOL pada dapat diberlakukan secara komprehensif pada tahun ini.