Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengajak mitra bisnis dan lembaga keuangan untuk ikut berkolaborasi dalam pembiayaan transisi energi di Indonesia.
Arifin menuturkan Indonesia membutuhkan pembiayaan sebesar US$1 triliun untuk investasi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2060. Selain itu, Arifin menambahkan, biaya transisi energi itu berpotensi meningkatkan seiring diterapkannya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang dimulai tahun ini.
"Pembiayaan transisi energi makin meningkat karena kami akan menerapkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara yang membutuhkan biaya besar untuk membayar kembali pinjaman dan bunga kepada pengembang," kata Arifin saat menghadiri acara Roundtable Discussion "a Just Energy Transition and Financing" yang diselenggarakan United Nations Development Programme (UNDP) di Grand Hyatt Hotel, Jakarta, Kamis (13/10/2022).
Selain itu, Arifin menggarisbawahi, pemerintah juga menyiapkan sejumlah kebijakan spesifik terkait dengan perlindungan sosial untuk mengantisipasi peralihan dari industri pertambangan menuju energi bersih.
Arifin beralasan penghentian pembangkit listrik berbasis batu bara bakal menggeser kebutuhan angkatan kerja pada industri tersebut.
"Kami juga membutuhkan dana tambahan untuk memberikan pelatihan kepada pekerja sektor pertambangan agar dapat beralih ke energi bersih dan terbarukan," kata Arifin.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. Manuver itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun, kurs Rp14.890.
Hanya saja program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun, asumsi kurs Rp14.810.
Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.
“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.
Hanya saja, Sinthya menuturkan, pendanaan internasional dan perbankan untuk akselerasi penghentian operasi PLTU di Indonesia relatif sulit dilakukan saat ini. Menurut dia, pemberi pinjaman masih berhati-hati untuk ikut mendanai program pensiun dini PLTU lantaran sentimen pembiayaan hijau saat ini.
Misalkan, dia mencontohkan, perseroan sempat melakukan penjajakan kerja sama untuk pendanaan penghentian operasi PLTU pada sejumlah bank dan pihak swasta di Jepang dan Korea Selatan belum lama ini. Akan tetapi, pihak swasta dan perbankan di dua negara itu masih mengkaji kembali potensi pendanaan pada program PLN tersebut.
“Karena ini akan bicara memindahkan portofolio batu bara di PLN ke balance mereka. Seperti apa mekanisme dari perlakuan atas karbonnya ini sehingga transisi energi ini ada,” kata Sinthya.