Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan sejumlah negara dan lembaga keuangan internasional telah menunjukkan ketertarikan mereka untuk ikut mendanai program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batu bara yang dimulai tahun ini.
“Sudah ada beberapa negara dan lembaga keuangan yang tertarik dengan program pensiun dini PLTU, salah satunya Asian Development Bank [ADB],” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi sekaligus Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat dihubungi, Kamis (13/10/2022).
Kendati demikian, Dadan mengatakan, kementeriannya masih mematangkan peta jalan pensiun dini puluhan pembangkit berbasis energi fosil tersebut menyusul disahkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik bulan lalu.
Di sisi lain, dia menerangkan, pemerintah masih menilai keekonomian dari inisiatif pemadaman 33 PLTU dengan kapasitas 16,8 gigawatt (GW) yang telah beroperasi selama 3 dekade. Malahan, tiga PLTU diharapkan sudah berhenti operasi pada tahun ini.
“Pensiun dini 33 PLTU itu sedang dievaluasi, misalkan nilai aset, besar CO2, kebutuhan sistem, umur pembangkit. Pendanaan juga demikian, masih dalam proses pembahasan,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. Manuver itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun (kurs Rp14.890).
Baca Juga
Hanya saja, program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun.
Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.
“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.
Hanya saja, Sinthya menuturkan, pendanaan internasional dan perbankan untuk akselerasi penghentian operasi PLTU di Indonesia relatif sulit dilakukan saat ini. Menurut dia, pemberi pinjaman masih berhati-hati untuk ikut mendanai program pensiun dini PLTU lantaran sentimen pembiayaan hijau saat ini.
Misalkan, dia mencontohkan, perseroan sempat melakukan penjajakan kerja sama untuk pendanaan penghentian operasi PLTU pada sejumlah bank dan pihak swasta di Jepang dan Korea Selatan belum lama ini. Akan tetapi, pihak swasta dan perbankan di dua negara itu masih mengkaji kembali potensi pendanaan pada program PLN tersebut.
“Karena ini akan bicara memindahkan portofolio batu bara di PLN ke balance mereka. Seperti apa mekanisme dari perlakuan atas karbonnya ini sehingga transisi energi ini ada,” kata Sinthya.