Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada bertambahnya ongkos produksi properti semakin memojokkan posisi pengembang rumah subsidi.
Agar pengembangan rumah subsidi bisa tetap berjalan sesuai target, para pengembang mendorong pemerintah untuk segera melakukan penyesuaian harga rumah subsidi.
Wakil Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Hari Gani mengatakan kenaikan harga bahan baku bangunan per tahun ini telah naik 15-20 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu, kenaikan harga BBM juga semakin memberatkan para pengembang.
Dia menuturkan, para pengembang sebenarnya sudah lama meminta penyesuaian harga rumah subsidi hingga 7 persen, seiring dengan terjadinya inflasi maupun kenaikan material. Namun, usulan tersebut belum juga digubris oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PUPR.
"Ini sudah 3 tahun nggak naik ya, maunya 20 persen lah paling nggak. Itu 7 persen permintaan kita 6 bulan yang lalu. Jangan sampe turun lagi dari 7 persen, sekarang udah inflasi segala macem, material sekarang kenaikannya sudah sampai 15-20 persen," kata Hari saat dihubungi Bisnis, Senin (5/9/2022).
Merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) kelompok bangunan atau konstruksi per Juli 2022 mengalami kenaikan 0,64 persen dari bulan sebelumnya.
Data tersebut juga mencatat kenaikan harga bangunan hingga 5,88 persen year on year (yoy). Sementara itu kenaikan harga solar juga memicu kenaikan harga aspal, semen, hingga pasir.
Dari kenaikan harga material tersebut, Hari mewanti-wanti pemerintah agar tidak menurunkan usulan kenaikan harga rumah subsidi sebesar 7 persen.
"Kita sudah minta ke PUPR juga minimal kenaikannya itu sesuai dengan apa yang pernah kita bahas sama-sama, sekitar 7 persen kenaikannya untuk rumah subsidi. Sebenernya 7 persen pun sekarang kalau dinaikin sudah nggak nendang lagi," paparnya.
Hari mengungkapkan akibat berbagai kenaikan harga yang semakin tak terbendung, para pengembang di daerah mau tak mau menghentikan penjualan. Sebab, ongkos produksi yang dikeluarkan tak sebanding dengan harga jual.
Lebih lanjut, Hari juga mengingatkan kebutuhan rumah bagi para masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang masih belum terpenuhi. Bahkan data sensus penduduk mencatat angka backlog mencapai 12 juta saat ini.
Untuk saat ini, pihaknya berharap Kementerian terkait untuk segera memberikan kepastian harga baru. Dengan demikian, ekosistem sektor properti dapat melaju di mana pengembang memperoleh margin dan pembeli mendapatkan hunian yang layak.