Bisnis.com, JAKARTA – Chief Executive Officer China Evergrande Group Xia Haijun terpaksa mengundurkan diri saat pengembang properti yang tengah dilanda krisis tersebut tengah mencari kesepakatan restrukturisasi utang senilai US$300 miliar yang telah mengguncang properti China.
Dilansir Bloomberg pada Senin (25/7/2022), Evergrande mengatakan bahwa posisi Xia Haijun akan diambil alih oleh seorang direktur eksekutif perusahaan Siu Shawn. Selain CEO, Chief Financial Officer Pan Darong juga terpaksa mengundurkan diri.
Evergrande tengah dalam penyelidikan skandal terkait penggunaan simpanan perusahaan senilai 13,4 miliar yuan (US$1,99 miliar) sebagai jaminan bagi pihak ketiga guna meraih mendapatkan pinjaman bank, yang kemudian gagal dibayar kembali.
Jaminan gadai mengancam akan menghapus sebagian besar aset di anak usaha layanan properti Evergrande.
Dalam pengajuan pekan lalu, Dewan Direksi Evergrande meminta Xia, Pan, dan eksekutif lain mengundurkan diri sebagai akibat dari informasi tentang keterlibatan mereka dalam mengatur janji yang diperoleh dari penyelidikan awal.
Perusahaan mengatakan komite investigasi independennya akan mengeluarkan laporan setelah penyelidikan selesai.
Baca Juga
Evergrande berada di pusat krisis utang yang menyebar di antara pengembang properti China menyusul tindakan keras peraturan terhadap pinjaman berlebihan di industri ini. Pengembang dengan tingkat utang terbesar di dunia menghadapi restrukturisasi yang panjang setelah dinyatakan default pada Desember 2021.
CEO yang baru diangkat, Siu, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan 21st Century Business Herald bahwa perusahaan telah mencapai konsensus dasar dengan beberapa kreditur utama mengenai isu-isu seperti prinsip dan kerangka restrukturisasi utang.
Siu juga mengatakan bahwa perusahaan akan mencari solusi yang sesuai hukum untuk masalah dana yang disita dan akan bekerja sama dengan regulator Hong Kong dalam penyelidikan dan investigasi.
Krisis keuangan Evergrande telah menjadi fokus bagi investor global yang khawatir bahwa keruntuhan dapat mengacaukan sistem keuangan dan mengekang pertumbuhan ekonomi di China. Sektor properti Negeri Panda ini diketahui memiliki porsi 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).