Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Hendrawan Supratikno menyampaikan rencana penerapan cukai untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sudah dimasukan di RAPBN 2023.
Namun ketika ditanya mengenai besaran tarif yang akan diterapkan, dia menyatakan pemerintah dan DPR RI belum mencapai kesepakatan.
"Sudah, di RAPBN 2023 kan dimasukkan juga. Tetapi berapa persisnya, bagaimana mekanisme pemungutannya, seberapa besar [tarif cukai], itu akan dibicarakan di Komisi XI," katanya usai menghadiri rapat dengan CISDI di kompleks parlemen, Senin (4/7/2022).
Dalam rapat hari ini, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) mengusulkan agar tarif cukai MBDK sebesar 20 persen. Bahkan, CISDI mendorong pemerintah untuk segera menerapkan cukai MBDK lantaran memberikan dampak terhadap kesehatan maupun sosial ekonomi.
Mengutip dokumen berjudul Ringkasan Kebijakan: Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia, konsumsi MBDK di Indonesia meningkat hingga 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Tingginya konsumsi BDK berisiko dalam meningkatkan kejadian obesitas dan penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung serta beberapa jenis kanker.
Baca Juga
"Mengingat kontribusinya pada peningkatan beban kesakitan dan kematian akibat (PTM), cukai MBDK harus segera diberlakukan untuk membatasi konsumsi tinggi MBDK," tulis laporan tersebut seperti dikutip Senin (4/7/2022).
Selain itu, kebijakan cukai MBDK dapat membantu Indonesia mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs poin 3. Dari sisi sosial ekonomi sebagaimana dikutip dari dokumen CISDI, Kementerian Keuangan memprediksi cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukkan negara mulai dari Rp2,7 triliun hingga RP6,25 triliun.
Adapun, estimasi tersebut didasarkan dengan mengasumsikan konsumsi semua minuman kemasan yang mengandung gula akan dikenakan pajak berdasarkan kandungan gulanya mulai dari Rp1.500 hingga RP2.500 per liter. Pemasukan tersebut dapat berkontribusi memenuhi hampir seluruh defisit pendanaan BPJS Kesehatan pada 2020 sebesar Rp6,36 triliun.