Bisnis.com, JAKARTA — Naiknya harga pertamax berpotensi membuat masyarakat beralih menggunakan bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi, yakni pertalite. Jika penggunaan pertalite melonjak, kebutuhan anggaran subsidi pun akan turut terkerek.
Pemerintah menetapkan harga pertamax naik menjadi Rp12.500 dan pertalite berada di harga Rp7.650, terdapat selisih Rp4.850 antarkedua jenis BBM tersebut. Selisihnya itu meningkat pesat dari sebelumnya, ketika harga pertamax masih Rp9.000.
Sebelumnya, dengan uang Rp25.000 masyarakat bisa memperoleh 2,7 liter pertamax atau 3,27 liter pertalite. Kini, dengan uang yang sama, masyarakat hanya memperoleh 2 liter pertamax.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa naiknya selisih harga itu berpotensi membuat sebagian konsumen pertamax beralih ke pertalite. Terlebih, saat ini masyarakat menjaga pengeluarannya karena memasuki bulan suci Ramadan dan adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Ada risiko migrasi ke pertalite kalau disparitas harganya terlalu jauh dengan pertamax. Pasokan pertalite nantinya akan terganggu," ujar Bhima kepada Bisnis, Jumat (1/4/2022).
Dia pun menilai bahwa meningkatnya konsumsi pertalite akan berimbas kepada kenaikan kebutuhan dana kompensasi, mengingat pertalite telah menjadi BBM bersubsidi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru, karena saat ini tunggakan kompensasi pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) terus membengkak.
Baca Juga
"Ini kan sama saja Pertamina mengeluh pertamax harus naik, tetapi nanti pindah keluhannya ke alokasi dana kompensasi pertalite kurang. Jadi naik semua ujungnya," katanya.
Bhima menilai bahwa sebenarnya sebenarnya pemerintah tidak perlu menaikkan harga pertamax. Pemerintah dapat menambah dana kompensasi kepada Pertamina untuk menambal selisih tingginya harga minyak dunia dengan harga jual BBM yang masih di bawah nilai keekonomian.
Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mengasumsikan harga minyak di US$63, tetapi kini minyak mentah mencapai di atas US$100 per barel. Meskipun begitu, pemerintah menikmati tambahan pendapatan dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga Rp100 triliun, sehingga menurut Bhima tersedia dana untuk menambal selisih harga.
"Cukup menambah dana kompensasi ke Pertamina atas selisih harga keekonomian yang makin lebar. Pemerintah dapat untung dari windfall harga minyak dunia, membuat ekspor batubara dan sawit juga menambah penerimaan negara," ujar Bhima.