Bisnis.com, JAKARTA – Laju inflasi di Indonesia masih tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang telah mengalami lonjakan inflasi yang signifikan.
Ekonom LPEM FEB UI Nauli Desdiani menyampaikan bahwa tingkat inflasi Indonesia masih belum kembali ke level normal di tengah banyak negara maju dan berkembang yang saat ini menghadapi tantangan peningkatan inflasi.
“Di saat banyak negara maju dan berkembang menghadapi inflasi yang tinggi, inflasi [di Indonesia] bahkan belum mencapai tingkat normalnya,” katanya dalam video conference, Jumat (4/2/2022).
Nauli menyampaikan rendahnya tingkat inflasi tersebut dikarenakan stimulus yang diberikan oleh pemerintah lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Inflasi pada 2021 tercatat sebesar 1,87 persen secara tahunan, di bawah batas bawah dari kisaran target Bank Indonesia sebesar 2 persen.
Tercatat, stimulus yang dikeluarkan Indonesia sebagai respons dalam menghadapi pandemi adalah sebesar 9,3 persen dari PDB 2020. Angka ini di atas rata-rata dari stimulus negara berkembang, yaitu sebesar 5,1 persen dari PDB 2020.
Baca Juga
Namun, dibandingkan dengan negara maju, jumlah tersebut jauh lebih rendah. Stimulus fiskal di Amerika Serikat dan Inggris misalnya, masing-masing tercatat sebesar 25,5 persen dan 19,3 persen dari PDB kedua negara itu.
DIa menilai tingkat pengangguran terbuka yang turun dari saat puncak pandemi sebesar 7,07 persen menjadi 6,49 persen pada Agustus 2021 dan tingkat kemiskinan turun dari 10,14 persen pada Maret 2021 menjadi 9,47 persen pada Agustus 2021, angka tersebut masih cukup tinggi dan belum mendekati level pra-pandemi.
Namun, mengingat banyak orang masih yang mencari pekerjaan sehingga tidak ada kekurangan tenaga kerja di Indonesia, setidaknya untuk saat ini.
Krisis energi global juga mendorong harga batu bara di tengah kenaikan harga komoditas global. Lonjakan tersebut berdampak pada peningkatan ekspor dan surplus neraca perdagangan sebesar US$35 miliar di Indonesia, yang tercatat sebagai angka tertinggi sepanjang tahun 2021.
Secara keseluruhan, kenaikan harga-harga global kata dia berpotensi mengganggu rantai pasok tidak hanya di pasar global, tetapi juga di industri dalam negeri.
Selain tekanan dari aktivitas produksi, inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan di Amerika Serikat juga memperparah dampak inflasi global terhadap pasar keuangan domestik.
Inflasi juga meningkat tajam di beberapa negara maju dan berkembang lainnya, seperti AS, Inggris, Turki, dan India karena beberapa alasan, termasuk kenaikan harga komoditas dan gangguan rantai pasok yang terus-menerus.
Akibatnya, bank sentral sedang mempertimbangkan untuk segera menaikkan suku bunga acuan mereka agar dapat menyesuaikan posisi akomodatif.
Mempertimbangkan situasi yang sedang berlangsung, sebagian besar investor telah beralih ke sikap yang lebih risk-averse dan membatasi investasi mereka ke aset berisiko. Hal ini mempengaruhi arus keluar modal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Arus keluar besar-besaran yang dimulai sejak kuartal IV/2021 menimbulkan risiko terhadap rupiah dengan tingkat depresiasi tahunan menyentuh 2,7 persen secara tahunan, membuat rupiah berada di sekitar Rp14.330 di awal 2022.
Meski demikian, Nauli mengatakan depresiasi Rupiah lebih rendah dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya, seperti Ringgit Malaysia, Peso Filipina, dan Bath Thailand. Tingkat depresiasi yang lebih rendah dapat disebabkan oleh kuatnya fundamental ekonomi domestik yang terlihat dari lebih tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia.