Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Ekspor Indonesia Pasca-Tarif Trump Berlaku 7 Agustus

Ekspor Indonesia diprediksi menurun pasca-tarif 19% AS berlaku. Meski begitu, pemerintah fokus diversifikasi pasar ke non-AS dan Eropa untuk menjaga pertumbuhan.
Presiden AS Donald Trump berpidato dalam penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, DC, AS, Kamis, 31 Juli 2025./Bloomberg-Eric Lee
Presiden AS Donald Trump berpidato dalam penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, DC, AS, Kamis, 31 Juli 2025./Bloomberg-Eric Lee
Ringkasan Berita
  • Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif impor 19% terhadap produk Indonesia, sementara ekspor AS ke Indonesia bebas tarif.
  • Kementerian Perdagangan menargetkan pertumbuhan ekspor nasional 7,10% dengan nilai US$294,45 miliar pada 2025, meski ada penurunan ekspor migas dan kenaikan ekspor nonmigas.
  • Ekonom dan analis menyarankan diversifikasi pasar ekspor Indonesia ke negara-negara non-AS dan Eropa untuk mengatasi dampak tarif baru dan menjaga pertumbuhan ekspor.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengumumkan kesepakatan dagang tarif impor sebesar 19% terhadap produk ekspor Indonesia. Sebaliknya, ekspor produk dari AS ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk atau tarif 0%. Lantas, bagaimana nasib kinerja ekspor Indonesia ke depan?

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan pertumbuhan ekspor nasional mencapai 7,10% dengan nilai ekspor mencapai US$294,45 miliar pada 2025.

Adapun, nilai ekspor Indonesia mencapai US$23,44 miliar pada Juni 2025 atau naik 11,29% dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$21,06 miliar.

Secara kumulatif, total nilai ekspor Indonesia mencapai US$135,41 miliar pada semester I/2025. Nilainya naik 7,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$125,73 miliar.

Jika diperinci, nilai ekspor migas sebesar US$7,03 miliar atau turun 11,04% dari sebelumnya US$7,9 miliar. Sementara itu, nilai ekspor nonmigas naik sebesar 8,96% dari US$117,83 miliar menjadi US$128,39 miliar.

Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperkirakan kinerja ekspor Indonesia akan sedikit menurun pasca adanya kebijakan tarif Trump.

“Pertumbuhan ekspor akan sedikit turun, karena pelemahan demand masyarakat AS terhadap produk impor karena kenaikan harga, yang ini ditanggung oleh semua eksportir,” kata Wijayanto kepada Bisnis, dikutip pada Rabu (6/8/2025).

Selain itu, Wijayanto menilai ketidakpastian dunia juga membuat konsumen dan investor menunda transaksi. Alhasil, kondisi ini berdampak pada penurunan ekspor Indonesia di tahun ini. Meski begitu, menurut Wijayanto, tarif 19% merupakan kesempatan yang bagus bagi Indonesia.

Dia mengatakan, tarif ini lebih rendah dari dua kompetitor kita untuk pasar AS, yaitu China dan India. Selain itu, tarif tersebut juga setara dengan kompetitor lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. 

Namun, dia menyebut pemerintah perlu memastikan beberapa hal untuk menghadapi kebijakan tarif Trump. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa semakin banyak produk Indonesia yang mendapat tarif di bawah 19%.

“Pemerintah juga perlu memperluas pasar non-AS, meningkatkan daya saing dan differensiasi produk. Serta, menjaga pasar Indonesia dari gempuran produk impor, baik legal maupun ilegal,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai kinerja ekspor Indonesia masih ditopang China sebagai negara tujuan ekspor utama.

Hal ini tercermin dari ekspor Indonesia ke China yang mencapai US$29,31 miliar pada semester I/2025 atau berada di urutan pertama terhadap market share ekspor Indonesia, meski Negara Tirai Bambu itu masih menjadi negara penyumbang defisit terdalam sepanjang Januari—Juni 2025.

“Menurut saya, kita tidak perlu khawatir dalam hal ini karena sebagaimana kita ketahui bahwa China masih menjadi negara yang cukup besar untuk peningkatan ekspor kita,” kata Andry kepada Bisnis.

Menurutnya, dengan adanya tarif Trump, pemerintah harus fokus kepada ekspor negara-negara non Amerika Serikat. Dengan begitu, ekspor Indonesia masih bisa terungkit, meski ekspor ke AS turun. Namun, dia menilai penurunan ekspor ke AS akan baru terlihat pada beberapa bulan ke depan.

“Pada akhirnya sebetulnya kami masih belum melihat 7 Agustus akan seperti apa dampaknya [dengan adanya tarif Trump], mungkin baru akan terasa di September, Oktober mungkin baru akan terasa,” ujarnya.

Terlebih, lanjut Andry, tarif impor yang dikenakan AS di kawasan Asean relatif sama dengan Indonesia. Namun, dia menilai, konsumen AS yang akan semakin diberatkan dengan adanya tarif ini.

“Mungkin yang paling akan terasa bukan di eksportirnya, tetapi di importirnya dalam hal ini adalah konsumen Amerika Serikat,” imbuhnya.

Di sisi lain, Andry juga menyebut pemerintah perlu melakukan diversifikasi pasar ekspor, termasuk ke wilayah Eropa. Sebab, menurutnya, masih terdapat perubahan kebijakan yang cukup besar dan tidak bisa terprediksi dari Trump. 

“Jika Indonesia terlalu banyak bermain di pasar ekspor Amerika Serikat, maka keuntungan yang akan didapatkan oleh Indonesia justru tidak cukup besar,” jelasnya.

Dia menilai, pemerintah perlu menjajaki pasar di Uni Eropa dengan meningkatkan misi dagang dan fasilitas perdagangan.

AS Penopang Surplus

Sebelumnya, Kemendag menyatakan pemerintah akan terus memantau pergerakan surplus Indonesia—Amerika Serikat (AS) pasca-pemberlakuan tarif resiprokal 19%.

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan pemerintah akan terus memantau pergerakan surplus Indonesia—AS. Pasalnya, AS tetap menjadi negara penyumbang surplus tertinggi pada semester I/2025, yakni mencapai US$9,92 miliar.

“Kalau kita lihat mitra dagang kita atau surplus kita tertinggi adalah ke Amerika, yaitu menyumbangkan surplus yang tertinggi sampai semester I [2025] ini sebesar US$9,92 miliar,” ujar Budi dalam konferensi pers Kinerja Ekspor Semester I/2025 di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (4/8/2025).

Menurut Budi, surplus tertinggi dari Negara Paman Sam itu menunjukkan bahwa produk dalam negeri memiliki daya saing meski tarif resiprokal belum berlaku.

“Ini pertanda bahwa produk-produk Indonesia masih punya daya saing meskipun ini belum diberlakukan tarif resiprokal,” sambungnya.

Meski demikian, Budi menyampaikan bahwa pemerintah akan terus memantau surplus neraca perdagangan Indonesia—AS ke depan. Selain itu, Kemendag juga akan tetap menggenjot ekspor saat tarif resiprokal itu berlaku.

“Jadi nanti kita akan monitor terus [surplus perdagangan RI—AS] dan kita tentu akan berupaya setelah dilakukan pemberlakuan tarif resiprokal, ekspor kita tetap terus meningkat,” ujarnya.

Selain AS, Budi menuturkan surplus neraca perdagangan Indonesia pada semester I/2025 juga berasal dari India senilai US$6,64 miliar, Filipina US$4,36 miliar, Malaysia senilai US$3,07 miliar, dan Vietnam senilai US$2,21 miliar.

Adapun, jika ditengok dari negara kawasan, Budi menyampaikan surplus perdagangan Indonesia berasal dari kawasan Asean yang mencapai US$9,59 miliar. Disusul, Uni Eropa dan EAEU masing-masing dengan surplus senilai US$3,79 miliar dan US$0,007 miliar pada paruh pertama 2025.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro