Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Impor 50% Resmi Berlaku, Hubungan Dagang India-AS Memanas

Tarif impor AS naik 50% untuk India akibat pembelian minyak Rusia, memanaskan hubungan dagang dan mengancam ekonomi India.
Presiden AS Donald Trump berpidato dalam penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, DC, AS, Kamis, 31 Juli 2025./Bloomberg-Eric Lee
Presiden AS Donald Trump berpidato dalam penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, DC, AS, Kamis, 31 Juli 2025./Bloomberg-Eric Lee

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi memberlakukan kenaikan tarif impor barang asal India menjadi 50% untuk menghukum New Delhi atas pembelian minyak Rusia.

Melansir Bloomberg, tarif tersebut mulai berlaku pada Rabu (27/8/2025) pukul 00.01 waktu Washington, menggandakan bea masuk sebelumnya yang sebesar 25% terhadap ekspor India. 

Trump menuding pembelian minyak Rusia oleh India turut mendanai perang Presiden Vladimir Putin di Ukraina. Namun, pemerintah India menilai langkah AS itu tidak adil, tidak berdasar, dan tidak masuk akal.

Kenaikan tarif ini diperkirakan menekan perdagangan India dengan AS yang menjadi pasar ekspor terbesarnya, sekaligus menggerus daya saing produk India dibandingkan dengan rival seperti China dan Vietnam. 

Kondisi tersebut juga memunculkan pertanyaan terkait ambisi Perdana Menteri Narendra Modi menjadikan India sebagai pusat manufaktur global.

“Ini adalah guncangan strategis yang mengancam pijakan jangka panjang India di pasar AS, berisiko menimbulkan pengangguran massal di pusat-pusat ekspor, dan bisa melemahkan partisipasi India dalam rantai pasok global,” ujar Ajay Srivastava, pendiri lembaga kajian Global Trade Research Initiative di New Delhi.

Beberapa sektor utama dikecualikan dari tarif ini, seperti ekspor elektronik — yang berarti investasi besar Apple Inc. di India untuk sementara aman. Ekspor farmasi juga tidak terdampak.

Kebijakan mendadak tersebut mengejutkan pejabat India, terlebih setelah berbulan-bulan kedua negara melakukan pembicaraan perdagangan. AS sebelumnya mengeluhkan tarif tinggi dan kebijakan proteksionis India, khususnya di sektor pertanian dan produk susu.

Ketegangan kian meningkat setelah Trump berulang kali mengkritik pembelian minyak Rusia oleh India. New Delhi berargumen bahwa langkah itu membantu menstabilkan pasar energi dan akan terus dilakukan selama memberikan manfaat finansial.

Merosotnya hubungan dengan Washington mendorong India mempererat kerja sama dengan sesama anggota BRICS. Dalam beberapa bulan terakhir, India dan China berupaya memperbaiki hubungan yang sempat memburuk pasca bentrokan perbatasan 2020. 

Modi dijadwalkan bertemu Presiden Xi Jinping pekan depan di sela-sela KTT keamanan di China, kunjungan pertamanya dalam tujuh tahun terakhir.

Sementara itu, India dan Rusia sepakat meningkatkan perdagangan tahunan sebesar 50% menjadi US$100 miliar dalam lima tahun ke depan. Sejak invasi penuh Rusia ke Ukraina pada 2022, India meningkatkan impor minyak dari Rusia hingga mencapai 37% dari total ekspor minyak Moskow.

Rencana perundingan putaran keenam antara India dan AS yang semula dijadwalkan 25–29 Agustus juga ditunda, sehingga memunculkan keraguan apakah kesepakatan dagang dapat tercapai tahun ini.

Citigroup Inc. memperkirakan tarif 50% ini dapat mengurangi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) India sebesar 0,6%–0,8%. Meski begitu, dampak ekonomi bisa tertahan mengingat perekonomian India lebih banyak ditopang oleh permintaan domestik, dengan konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 60% dari PDB.

Pemerintah Modi berjanji melakukan reformasi generasi baru dimulai dengan perombakan besar atas pajak konsumsi. Otoritas di New Delhi juga tengah merancang langkah khusus untuk menopang sektor yang rentan terdampak, seperti tekstil dan alas kaki.

Menjelang penerapan tarif, pasar obligasi dan valuta India melemah, dengan rupee tercatat sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di Asia tahun ini. Pasar saham India juga mencatat arus keluar modal asing hampir US$5 miliar sejak Juli.

Trinh Nguyen, ekonom senior Natixis mengatakan, di sisi lain, tekanan eksternal ini bisa menjadi pemicu percepatan reformasi yang sudah lama tertunda. 

“Reformasi lahan, tenaga kerja, dan liberalisasi sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan dan meningkatkan daya saing," jelasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro