Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkap sejumlah kebijakan yang dapat mendorong kontribusi industri pengolahan atau manufaktur mencapai di atas 20% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sektor manufaktur tercatat sebagai penggerak utama ekonomi kuartal II/2025 dengan kontribusinya ke produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 18,67%. Meski merangkak naik dibandingkan dengan kuartal II tahun 2022, 2023, dan 2024.
Namun demikian, kontribusi sektor manufaktur masih terjebak di angka 18%. Masih jauh dibanding kuartal II/2021 yang mencapai 19,29% atau masa sebelum pandemi pada kuartal II/2018 dan 2019 yang masing-masing sebanyak 19,8% dan 19,52%.
Bahkan, kontribusi manufaktur periode baru ini masih cenderung stagnan, bergeming jika dibandingkan sedekade lalu atau kuartal II/2015 yang mampu tembus ke angka 20,91% yoy.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan turunnya kontribusi sektor manufaktur perlu menjadi perhatian karena sektor ini memiliki daya ungkit atau multiplier effect yang besar terhadap PDB, lapangan kerja, dan ekspor.
“Dengan kebijakan yang pro-manufaktur dan responsif terhadap kebutuhan industri, kontribusi sektor industri terhadap PDB berpeluang tumbuh kembali di atas 19% dalam beberapa kuartal ke depan,” kata Saleh kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025).
Baca Juga
Adapun, beberapa strategi yang bisa mendorong kontribusi industri yaitu pertama realisasi insentif fiskal dan non-fiskal yang lebih terarah seperti super tax deduction untuk industri padat karya, insentif untuk produk substitusi impor, atau penurunan biaya energi untuk sektor tertentu.
Kedua, percepatan implementasi kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) secara konsisten dan terukur, agar dapat memberikan pasar yang lebih luas bagi pelaku industri nasional. “Terutama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah,” imbuhnya.
Ketiga, penguatan ekosistem industri hulu-hilir, terutama untuk sektor prioritas seperti elektronik, pangan olahan, farmasi, dan kendaraan listrik, agar mendorong efek rantai yang lebih dalam.
“Keempat, kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan vokasi, untuk memastikan tersedianya tenaga kerja industri yang terampil dan adaptif terhadap teknologi,” pungkasnya.