Bisnis.com, JAKARTA — Meningkatnya impor bahan baku/penolong dan barang modal tidak melulu mencerminkan produktivitas industri manufaktur mulai pulih. Apalagi para pelaku usaha masih wait and see di tengah gejolak perdagangan global.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang modal pada Januari-Juni 2025 mencapai US$23 miliar atau melesat 20,90% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$19,03 miliar. Adapun, impor barang modal yang naik signifikan yaitu mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84), mesin atau perlengkapan elektrik dan bagiannya (HS 85) serta kendaraan dan bagiannya (HS 87).
Di samping itu, impor bahan baku penolong naik juga mengalami kenaikan 2,56% yoy menjadi US$82,75 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$80,69 miliar. Kenaikan impor bahan baku cukup besar pada logam mulia dan perhiasan atau permata (HS 71), kemudian kakao dan olahannya (HS 18) dan berbagai produk kimia (HS 38).
Namun, laju impor produktif untuk industri tersebut tak diiringi oleh ekspansi manufaktur. Data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan industri berada dalam fase kontraksi sepanjang April-Juli 2025. Indeks kinerja manufaktur Indonesia anjlok ke level 46,7 pada April 2025 dan masih berada di level kontraksi, yakni 49,2 pada Juli 2025.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, kontraksi PMI manufaktur yang terjadi selama 4 bulan terakhir mencerminkan adanya tekanan berlapis yang dihadapi industri.
Baca Juga
“Peningkatan impor bahan baku dan barang modal tidak selalu mencerminkan ekspansi kapasitas produksi dalam jangka pendek,” kata Saleh kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).
Menurutnya, kenaikan impor bahan baku dan barang modal dalam situasi saat ini bisa saja mengindikasikan bahwa sebagian pelaku usaha melakukan front-loading pembelian sebagai bentuk antisipasi terhadap fluktuasi nilai tukar dan potensi gangguan rantai pasok global.
Tak hanya itu, kenaikan impor ini juga mengindikasikan adanya pembelian strategis untuk menjaga kontinuitas produksi. Namun, bukan dalam rangka perluasan kapasitas, melainkan untuk memenuhi permintaan yang sifatnya sporadis atau untuk menjaga inventory buffer.
Di sisi lain, Saleh menerangkan bahwa investasi pada barang modal juga bisa menunjukkan adanya transformasi lini produksi.
“Misalnya untuk menyesuaikan dengan tuntutan sertifikasi TKDN atau orientasi green industry, yang belum langsung terefleksi dalam output PMI,” kata Saleh.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, aktivitas pasar saat ini tengah melambat, di mana permintaan baru dari domestik maupun ekspor mengalami pelemahan.
Dia mengatakan, tak sedikit pengusaha yang melaporkan penundaan pesanan baru dari pasar. Kondisi ini mencerminkan turunnya kepercayaan masyarakat dan daya beli di pasar domestik yang tak kunjung pulih.
Di samping itu, pasar ekspor juga belum bisa diandalkan karena gejolak perdagangan global yang terjadi. Alhasil, banyak perusahaan menahan ekspansi, mengurangi output, bahkan melakukan penyesuaian tenaga kerja.
"Ini bukan sekadar karena faktor global semata, tapi juga karena biaya produksi yang masih sangat tinggi dari logistik, bahan baku impor, energi, hingga beban regulasi yang belum sepenuhnya efisien," ujar Shinta.
Untuk mengungkit kontribusi manufaktur terhadap nilai ekonomi nasional, Shinta menyebut terdapat dua langkah utama. Pertama, pemerintah perlu memberikan instrumen jangka pendek yakni stimulus untuk industri.
Menurut dia, insentif dan perlindungan tidak cukup hanya bersifat normatif, maka perlu langkah afirmatif yang dapat yang langsung menyasar titik tekan pelaku industri, mulai dari biaya produksi, akses bahan baku, hingga kepastian regulasi.
Kedua, penyelesaian yang sifatnya jangka menengah panjang, yaitu mengeliminasi berbagai bottleneck yang masih menciptakan high cost economy.
"Kombinasi dari kedua hal ini sangat penting untuk mengembalikan daya saing sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional," tuturnya.
Pengusaha Waspadai Efek Tarif Trump
Industri furnitur menjadi salah satu sektor yang mengalami kontraksi mendalam pada kuartal II/2025. Sentimen geopolitik global, kebijakan tarif Trump, hingga pelemahan daya beli menjadi penekan industri padat karya ini.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan, pada kuartal I/2025, industri furnitur mampu tumbuh hingga 9,86% yoy. Namun, pada kuartal kedua pertumbuhan kinerja industri furnitur terhadap produk domestik bruto (PDB) turun jadi -0,05% yoy.
"Ya, data kontraksi -0,05% yoy pada kuartal II cukup sejalan dengan realitas di lapangan, setelah pertumbuhan yang relatif tinggi di kuartal I, industri mebel dan kerajinan mulai mengalami perlambatan signifikan," kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).
Menurut Sobur, ketidakpastian geopolitik global yang menekan permintaan dari pasar utama ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Selain itu, penguatan dolar AS dan tekanan suku bunga tinggi juga berdampak pada penundaan pembelian furnitur, terutama di segmen menengah-atas.
Di sisi lain, industri juga tengah waspada menghadapi sentimen kebijakan tarif Trump dan ancaman tambahan 10% terhadap produk dari negara non-FTA, termasuk Indonesia. Kondisi ini membuat buyer ragu-ragu mengambil posisi jangka panjang.
Sementara itu, dalam negeri, tingginya UMR dan biaya logistik juga menggerus daya saing, terutama bagi pelaku padat karya dan UKM.
"Dengan kata lain, kuartal II adalah periode tahan napas bagi banyak pelaku industri yang masih menunggu kepastian pasar dan kebijakan," jelasnya.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja pertumbuhan industri furnitur juga kontraksi -0,66% yoy pada kuartal II/2024 dan tumbuh 1,66% yoy pada kuartal I/2024.
Tren perlambatan ini membuat pelaku usaha memasang target pertumbuhan flat atau tumbuh tipis di bawah 2% yoy sepanjang tahun ini.
Target pertumbuhan itu pun dapat tercapai jika permintaan global tidak anjlok dan pemerintah memberi dukungan nyata dalam bentuk negosiasi tarif ekspor ke AS.
Selain itu, perlu adanya dorongan pembukaan pasar baru melalui perjanjian dagang seperti IEU–CEPA atau perluasan akses ke Timur Tengah, India, dan Afrika.
"Namun, jika tarif Trump jadi diberlakukan penuh dan tidak ada intervensi konkret dari pemerintah, pertumbuhan bisa negatif di akhir tahun," tuturnya.
Sebab, AS adalah pasar utama dengan pangsa 54%. Dia menilai tekanan margin akan terlalu besar bagi banyak eksportir furnitur untuk bertahan tanpa relokasi atau insentif.
Optimisme Pemerintah
Pemerintah optimistis laju impor barang modal dan bahan baku pada kuartal II/2025 dapat menjadi sinyal positif pemulihan industri manufaktur pada semester II/2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap bahwa impor bahan baku dan barang modal yang tumbuh 12,17% pada kuartal II/2025 dapat memperkuat produksi manufaktur pada periode berikutnya.
"Impor tumbuh tinggi 12,17% terutama untuk bahan baku dan barang modal. Ini memberikan optimisme impor ini akan mendukung pertumbuhan manufaktur pada kuartal selanjutnya," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2025, Selasa (5/8/2025).
Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyampaikan bahwa dalam merespons kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS), Kementerian Perdagangan telah menyiapkan serangkaian strategi untuk melindungi pasar dalam negeri sekaligus memperkuat posisi ekspor Indonesia di pasar global.
Strategi ini sekaligus bertujuan menjaga keberlanjutan industri nasional serta meningkatkan daya saing produk Indonesia di tengah dinamika perdagangan internasional.
Langkah-langkah yang ditempuh, antara lain intensifikasi perundingan dan diplomasi dengan AS, penataan kebijakan perdagangan, pengamanan pasar dalam negeri dan keberlanjutan industri nasional, serta optimalisasi kebijakan instrumen seperti bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) dan bea masuk anti-dumping (BMAD).
Langkah lainnya, yaitu perluasan pasar ekspor melalui percepatan perundingan dagang dan promosi ekspor, serta peningkatan diplomasi perdagangan regional dan multilateral.
"Tahun ini, sudah banyak terselesaikan perjanjian dagang. Selanjutnya, kita akan masuk ke pasar Afrika. Mudah-mudahan, paling tidak, tahun ini sudah mulai pendekatan-pendekatan ke negara Afrika,” ujar Budi, dikutip dari siaran pers.