Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggeliat meski Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama 4 bulan beruntun.
Data BPS menunjukkan kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 18,67% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025. Namun, angka tersebut turun dari kuartal sebelumnya yakni 19,25% yoy.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan kuartal II/2024 yang mencapai 18,52% yoy, kontribusi periode kuartal kedua tahun ini masih lebih tinggi.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud mengatakan industri pengolahan juga mencatat pertumbuhan 5,68% yoy pada kuartal kedua tahun ini. Angka tersebut naik dari periode kuartal sebelumnya 4,55% yoy.
"Jika dilihat lebih rinci terkait perkembangan pertumbuhan lapangan usaha dengan sumber pertumbuhan terbesar yang pertama industri pengolahan, yaitu industri makanan dan minuman tumbuh 6,15%," ujar Edy dalam rilis BPS, Selasa (5/8/2025).
Pertumbuhan industri makanan dan minuman didorong oleh peningkatan permintaan domestik dan luar negeri, seperti produk CPO, minyak goreng, minuman, dan makanan olahan lainnya.
Baca Juga
Tak hanya mamin, industri logam dasar juga tumbuh positif yakni sebesar 14,91% yoy didorong oleh peningkatan permintaan luar negeri, seperti produk besi dan baja.
Di sisi lain, industri kimia, farmasi, dan obat tradisional juga tumbuh 9,39% sejalan dengan peningkatan permintaan domestik untuk produk farmasi dan obat tradisional, serta permintaan luar negeri untuk bahan dan barang kimia.
Kendati demikian, meski kontribusi dan pertumbuhan industri pengolahan mengalami pertumbuhan positif, dari sisi produktivitas manufaktur dalam negeri masih mengalami kontraksi.
Produktivitas manufaktur kembali menunjukkan kontraksi. Hal ini tercermin dalam laporan S&P Global Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di level 49,2 pada Juli 2025 atau di bawah ambang batas 50.
Kinerja bulan Juli memang mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya yang berada di level 46,9 dan 47,4 pada Mei 2025. Dalam laporan terbaru S&P Global, tren kontraksi ini berlanjut sejak April 2025 lalu yang anjlok ke angka 46,7.