Bisnis.com, JAKARTA - Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA menilai kenaikan batas lebih bayar untuk pengembalian pendahuluan restitusi PPN akan mendorong efektivitas kebijakan perpajakan, tetapi di sisi lain dapat mengurangi penerimaan pajak.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, pemerintah menaikkan batas pengembalian pendahuluan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi Rp5 miliar.
Sebelumnya, batas pengembalian pendahuluan restitusi PPN adalah Rp 1 miliar. Kebijakan itu berlaku bagi wajib pajak persyaratan tertentu atau mereka yang memenuhi sejumlah kriteria sesuai PMK 39/2018.
Manajer Riset CITA Fajry Akbar menilai bahwa naiknya batas pengembalian pendahuluan tersebut akan lebih menarik bagi wajib pajak. Dampaknya, hal tersebut dapat mendorong kebijakan perpajakan yang lebih efektif.
"Dari sisi pemerintah, ketentuan baru ini tentunya akan meningkatkan efektivitas kebijakan. Semakin banyak yang memanfaatkan maka semakin efektif kebijakan tersebut," ujar Fajry kepada Bisnis, Sabtu (15/1/2022).
Meskipun begitu, kebijakan itu pun berpotensi mengurangi penerimaan perpajakan. Fajry belum dapat memperkirakan potensi pengurangannya, tetapi dia yakin akan terdapat pengaruh.
Baca Juga
"Di sisi lain, ketentuan tersebut berpotensi meningkatkan besaran restitusi pada tahun ini, yang mana akan berpengaruh pada penerimaan pajak di tahun ini," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Neilmaldrin Noor menjelaskan bahwa latar belakang penyesuaian batas restitusi PPN tersebut adalah untuk membantu likuiditas keuangan wajib pajak.
“Dengan penyesuaian jumlah batasan tersebut menjadi Rp5 miliar, maka lebih banyak pelaku usaha yang mendapat layanan ini. Kas dari restitusi dapat digunakan kembali oleh pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Neil pada Kamis (13/1/2022).
Selain itu, dalam PMK tersebut, pemerintah juga mengharuskan wajib pajak kriteria tertentu untuk menyampaikan laporan keuangan dalam suatu tahun pajak. Laporan itu harus diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah dengan hasil pendapat wajar tanpa pengecualian.
Apabila tidak dipenuhi, wajib pajak tidak diberikan pengembalian pendahuluan dan dicabut keputusan penetapan sebagai wajib pajak kriteria tertentunya.
Menurut Neil, hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada wajib pajak dalam melaksanakan administrasi perpajakannya. Dengan demikian, akan terwujud pelayanan perpajakan yang setara, baik dalam proses penetapan maupun pencabutan sebagai wajib pajak kriteria tertentu.
“Penyesuaian kebijakan ini untuk menjamin kepatuhan wajib pajak kriteria tertentu dan menjamin bahwa wajib pajak memiliki kriteria yang layak selama mendapatkan layanan khusus berupa pengembalian pendahuluan tersebut,” ujar Neil.