Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memamerkan bahwa penerimaan pajak bruto pada Maret 2025 meningkat 9,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dalam paparannya di acara Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4/2025), Sri Mulyani menyatakan bahwa penerimaan pajak sudah tumbuh positif pada Maret 2025, akhiri tren negatif dua bulan sebelumnya. Oleh sebab itu, dia meminta masyarakat tak khawatir dengan kondisi keuangan negara.
"Kalau kita lihat pada Maret, penerimaan pajak bruto kita sudah turn around yang tadinya growth-nya -13% di Januari, Februari -4%, ini sekarang sudah positif 9,1% turning around. Itu kelihatan sudah mulai baik," katanya.
Dia menunjukkan bahwa penerimaan pajak bruto mencapai Rp170,7 triliun pada Maret 2025 atau tumbuh 9,1% secara tahunan dibandingkan Maret 2024, yang penerimaan pajak brutonya Rp156,4 triliun.
Hanya saja, secara kumulatif dari awal tahun (year to date/YtD), pertumbuhan pajak bruto masih minus. Selama Januari—Maret 2025, penerimaan pajak bruto sebesar Rp469,9 triliun atau menurun 3,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang penerimaan pajak brutonya mencapai Rp485,4 triliun.
Bahkan, minus tersebut lebih tajam apabila dihitung berdasarkan penerimaan pajak neto. Selama Januari—Maret 2025, penerimaan pajak neto sebesar Rp322,6 triliun atau turun 18,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang penerimaan pajak netonya mencapai Rp393,9 triliun.
Artinya, penerimaan pajak tahun ini terkoreksi apabila dihitung secara neto. Hanya saja, belakangan Kementerian Keuangan banyak memaparkan nominal penerimaan pajak secara bruto.
Pertanyaannya, kenapa? Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai belakangan nilai penerimaan pajak neto tampak lebih buruk daripada bruto karena besarnya nilai restitusi pajak.
Fajry menjelaskan penerimaan pajak neto merupakan setoran pajak yang telah dikurangi oleh restitusi. Sebaliknya, pajak bruto merupakan total setoran pajak sebelum dikurangi apapun.
Penerimaan pajak bruto sendiri mencapai Rp469,9 triliun selama per Maret 2025. Sementara itu, penerimaan pajak neto sebesar Rp322,6 triliun per Maret 2025. Artinya, ada selisih Rp147,3 triliun antara penerimaan pajak bruto dan neto.
"Kalau neto jauh lebih kecil dari bruto artinya ada restitusi dalam jumlah besar," jelas Fajry kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).
Menurutnya, jumlah restitusi yang besar menggambarkan adanya ketidakcocokan antara penawaran dan permintaan. Dia mencontohkan, besarnya restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) terjadi karena pajak masukan lebih besar dibandingkan pajak keluaran.
Misalnya, manufaktur atau pabrikan melakukan pembelian barang modal atau bahan baku. Hanya saja, aktivitas tersebut tidak diikuti peningkatan produksi dan penjualan.
Penyebabnya bisa karena strategi produsen menjaga pasokan untuk hadapi ketidakpastian ekonomi atau sekadar rendahnya permintaan atau daya beli masyarakat.
"Teori ini selaras dengan data, Purchasing Manager Index [PMI] Manufaktur Indonesia di dua bulan awal [ekspansi]. Tahun lalu juga seperti itu, PMI Manufaktur kita juga meningkat di awal tahun, lalu melandai," ungkap Fajry.
Selain itu, sambungnya, besarnya restitusi juga berkaitan dengan penurunan harga komoditas seperti yang terlihat dari kinerja pajak penghasilan (PPh) Badan. Fajry menjelaskan, kinerja PPh Badan menggambarkan ekonomi satu hingga dua tahun lalu.
Menurutnya, untuk setoran pajak PPh Badan pada kuartal I/2025 masih menggambarkan kondisi ekonomi 2023 sesuai dengan siklus pelaporan SPT Wajib Pajak Badan sehingga masih. Masalahnya, terjadi penurunan harga komoditas pada 2022—2023 sehingga menimbulkan lebih bayar PPh Badan.
Oleh sebab itu, selisih Rp147,3 triliun antara penerimaan pajak bruto dan neto pada awal tahun ini menunjukkan besaran restitusi yang dilakukan pemerintah.
Fajry melihat besaran nilai restitusi tersebut merupakan bagian dari pengelolaan likuiditas negara. Artinya, pemerintah mulai besar-besaran melakukan restitusi karena periode sebelumnya masih memberlakukan arus kas yang besar.
"Bisa saja terjadi karena sisi administrasi, mengingat proses restitusi ada proses dan persetujuan otoritas. Jadi, besaran nilai restitusi pada awal tahun ini merupakan akumulasi dari akhir tahun lalu," tutupnya.
Postur APBN per Maret 2025
Maret 2024 | Maret 2025 | Perubahan | |
Pendapatan Negara | 620 | 516,1 | -16,8% |
Penerimaan Perpajakan | 462,9 | 400,1 | -13,6% |
Penerimaan Pajak | 393,9 | 322,6 | -18,1% |
Penerimaan Bea Cukai | 69 | 77,5 | 12,3% |
PNBP | 156,7 | 115,9 | -26,0% |
Belanja Negara | 611,9 | 620,3 | 1,4% |
Belanja Pemerintah Pusat | 427,6 | 413,2 | -3,4% |
Belanja K/L | 222,2 | 196,1 | -11,8% |
Belanja Non K/L | 205,3 | 217,1 | 5,7 |
Transfer ke Daerah | 184,3 | 207,1 | 12,4% |
Keseimbangan Primer | 122,09 | 17,5 | -85,7% |
Surplus/Defisit APBN | 8,07 | -104,2 | |
0,04% | -0,43% |
*nilai dalam triliun rupiah. Sumber: Kemenkeu
Efek Administrasi dan Harga Komoditas
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memang menyatakan ada dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pajak (neto) pada awal tahun.
Pertama, faktor penurunan harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara (-11,8%), Brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%). Kedua, faktor administrasi.
Terkait faktor administrasi, Anggito menjelaskan adanya sejumlah kebijakan baru yang mempengaruhi penerimaan pajak. Dia mencontohkan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) atas PPh 21 atau pajak atas penghasilan buruh yang mulai belaku Januari 2024.
Menurutnya, penerapan TER PPh 21 mengakibatkan lebih bayar sebesar Rp165 triliun pada 2024. Anggito menyatakan jika lebih bayar tersebut diklaim pada Januari dan Februari 2025 maka penerimaan pajak jenis PPh 21 akan meningkat (rata-rata Rp21,2 triliun [bruto] pada Desember 2024—Februari 2025) bahkan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp20,4 triliun [bruto]).
"Jadi ada kebijakan yang baru pertama kali dilaksanakan pada 2024 yang namanya tarif efektif rata-rata untuk PPh 21. Jadi kalau Anda menghitung cash memang turun, tapi kalau ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilaksanakan 2024," ujar Anggito dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi Maret, Kamis (13/3/2025).
Selain itu, sambungnya, ada kebijakan relaksasi pembayaran PPN dalam negeri (DN) yaitu pembayaran yang sampai dengan Februari bisa dibayarkan hingga 10 Maret 2025.
Menurutnya, jika perhitungan dinormalisasikan terhadap aturan relaksasi tersebut maka rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024—Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun (bruto) atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp64,2 triliun (bruto).
"Jadi itu menjelaskan pola Februari 2025 agak berbeda dengan sebelumnya. Tapi sekali lagi setelah dinormalisasikan dan angka itu diketahui sampai dengan 10 Maret maka polanya sama seperti yang normal," tutupnya.