Bisnis.com, JAKARTA — Krisis energi di beberapa negara akibat kelangkaan batu bara yang mendorong harga komoditas itu ikut menekan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat ongkos energi berkontribusi hingga 25 persen dari keseluruhan struktur biaya industri TPT, dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar.
Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pemenuhan batu bara di dalam negeri.
Kemenperin telah meminta otoritas tersebut untuk menaikkan domestic market obligation (DMO) industri batu bara yang saat ini dipatok sebesar 25 persen.
"Kami terus berkomunikasi dengan Kementerian ESDM supaya menjamin ketersediaan batu bara, atau misalnya DMO terus dijaga bahkan dinaikkan," kata Elis, Jumat (15/10/2021).
Selain itu, Elis juga telah mengupayakan agar produksi batu bara dinaikkan untuk memenuhi kebutuhan industri yang tinggi di masa pemulihan permintaan. Mengenai harga batu bara yang tinggi, Elis mengatakan angkanya akan otomatis turun jika pasokannya memenuhi kebutuhan.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan harga batu bara yang berada di atas US$170 per ton telah mengganggu kelangsungan industri. Selain harganya yang tinggi mengikuti fluktuasi di pasar internasional, pasokannya juga tidak mencukupi.
"Kami meminta pemerintah untuk intervensi agar pasokan dan harganya terjamin," ujar Redma.
Dia meminta harga batu bara untuk industri diturunkan hingga angka keekonomian yang mencapai US$70 per ton, atau menyamai harga pada 2018-2019.
Redma mengatakan ketersediaan dan keterjangkauan energi menjadi penting untuk menjawab peluang yang dimunculkan oleh kondisi di sejumlah negara pesaing. Lockdown yang terjadi di Vietnam dan krisis energi di China dan India meninggalkan ceruk pasar, khususnya di dalam negeri, untuk diisi oleh pelaku tekstil domestik.