Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai penerapan pajak karbon akan membebani daya saing di pasar domestik maupun ekspor.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) ongkos energi berkisar antara 10-25 persen dari total biaya produksi.
Redma juga mengatakan bauran energi di sektor tekstil sampai saat ini hampir seluruhnya bersumber pada fosil.
"Pasti akan berpengaruh ke harga jual dan daya saing ekspor. Berapa persennya kami masih belum bisa hitung," katanya kepada Bisnis, Kamis (14/10/2021).
Selain itu, pajak karbon juga dinilai membebani arus investasi yang sangat dibutuhkan industri untuk bergeser ke energi terbarukan.
Redma menyatakan sejak lima tahun lalu asosiasi telah menyuarakan usulan untuk memberikan insentif bagi industri yang bisa mengurangi emisinya. Hal ini dinilai akan membuka keran investasi untuk perluasan penggunaan energi hijau di sektor industri.
Baca Juga
Jika kebijakan insentif tak bisa diterapkan, lanjutnya, pemerintah bisa memberlakukan sistem bertahap dalam pemajakan karbon.
"Misalnya target pemerintah turun emisi 25 persen dari baseline. Kalau ada perusahaan yang masih di atas itu, baru kenakan pajak. Tahun depannya naikkan lagi [baseline-nya], dan seterusnya," jelas Redma.
Pajak karbon ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Besarannya turun dari usulan sebelumnya sebesar Rp75 per kg CO2e menjadi Rp30 per kg CO2e.
Sesuai pasal 17 ayat 3 UU HPP, yang pertama kali dikenakan pajak karbon yakni badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulai 1 April 2022 hingga 2024.
Adapun mulai 2025 dan seterusnya, implementasi pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor industri lain memperhatikan kesiapan dan faktor-faktor seperti kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, serta dampak dan skala.