Bisnis.com, JAKARTA - Pengenaan pajak karbon yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) berpotensi membebani pelaku industri manufaktur.
Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) menyatakan kebijakan itu akan menaikkan ongkos energi yang pada akhirnya berdampak pada harga jual di tingkat konsumen.
Ketua Asrim Triyono Pridjosoesilo mengatakan industri yang sudah berjuang selama masa pandemi tidak mungkin bisa menyerap semua kenaikan biaya tanpa melakukan penyesuaian harga jual.
Terlebih, minuman ringan bukanlah kebutuhan primer sehingga kinerja penjualannya akan sangat bergantung pada daya beli masyarakat.
"Kalau ada kenaikan biaya terus industri tidak melakukan adjustment [harga jual], sepertinya agak susah," katanya kepada Bisnis, Rabu (13/10/2021).
Potensi beban dan kenaikan harga jual itu saat ini masih dikaji dan diharapkan tidak terlalu membebani daya beli konsumen.
Baca Juga
Sebelumnya, pajak karbon ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Besarannya turun dari usulan sebelumnya sebesar Rp75 per kg CO2e menjadi Rp30 per kg CO2e.
Tahap pertama, mulai 1 April 2022 hingga 2022, diterapkan mekanisme pajak berdasar pada batas emisi untuk sektor pembakit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Adapun mulai 2025 dan seterusnya, implementasi pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor industri lain memperhatikan kesiapan dan faktor-faktor seperti kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, serta dampak dan skala.
Menurut Triyono, pajak karbon merupakan kebijakan yang menghukum dan cenderung tidak memberikan alternatif bagi industri untuk beralih ke energi yang lebih bersih.
"Akan sangat lebih bagus kalau pemerintah mengeluarkan insentif karena banyak perusahaan yang sudah memikirkan [penggunaan] panel surya atau energi terbarukan lain," ujarnya.
Bagi industri minuman ringan, hal yang sama berlaku pada rencana penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis. Jika diterapkan, industri minuman ringan akan menyerap beban dua jenis cukai tersebut.
Sementara itu, alternatif penggunaan kemasan lain seperti botol kaca juga akan memunculkan dilema baru karena produksinya boros energi sehingga akan terkena pajak karbon.
"Akhirnya kami akan kena buah simalakama," ujarnya.