Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) mengejar pengembangan pembangkit listrik tenaga uap dengan menggunakan teknologi untuk menekan emisi karbon. Upaya tersebut sebagai antisipasi atas pengenaan pajak karbon mulai 2022.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan bahwa perusahaan setrum itu berupaya untuk beroperasi lebih efisien, serta lebih ramah lingkungan. Langkah tersebut diambil demi mengurangi emisi karbon dari pembangkit.
Pemerintah sendiri menetapkan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) untuk menekan emisi karbon di Indonesia.
Ketentuan ini ditetapkan setelah DPR mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU. Pengenaan pajak karbon tersebut akan berlaku mulai 1 April 2021.
“Kami juga sedang mengkaji penerapan teknologi carbon capturing, utilization, and storage [CCUS],” katanya kepada Bisnis, Rabu (13/10/2021).
Selain itu, dalam transformasinya PLN turut mengedepankan energi bersih. Perseroan, kata dia, menjadi yang terdepan dalam transisi energi.
Baca Juga
Perusahaan juga meluncurkan green energy booster dengan membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, co-firing, hingga konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi energi berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Selain itu, Bob juga mengkhawatirkan pengenaan pajak karbon terhadap PLTU akan berdampak pada kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.
Meski begitu, dia memastikan bahwa PLN sebagai BUMN akan mendukung seluruh kebijakan pemerintah, termasuk terkait pengenaan pajak karbon mulai 2022.
“Pengenaan pajak karbon akan menaikkan BPP dan tentu saja dengan skema tarif saat ini akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi,” terangnya.