Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menetapkan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap batu bara senilai Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) untuk menekan emisi karbon di Indonesia.
Ketentuan ini disahkan setelah DPR mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi UU. Pengenaan pajak karbon ini akan berlaku mulai 1 April 2021.
“Yang pertama kali dikenakan [pajak karbon] terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen [CO2e) atau satuan yang setara,” bunyi pasal 17 ayat 3 UU HPP.
Pengenaan pajak ini diambil untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC). Pajak karbon ditetapkan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia.
Adapun pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Selain itu, UU HPP menyebutkan penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Sementara itu, wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon maupun pengimbangan emisi karbon dapat diberikan pengurangan pajak karbon atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.
Dalam UU HPP ini juga disebutkan ketentuan mengenai penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan dan mekanisme pengenaan pajak hingga tata cara pengurangan pajak karbon akan diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Pekan lalu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Hendra Sinadia sempat meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana pengenaan pajak karbon.
Pasalnya, perusahaan tambang juga tengah berusaha untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit. Salah satunya rencana penggunaan teknologi carbon capture, utilization and storage (CCUS) hingga hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).
Sebab itu, perusahaan tambang memerlukan insentif dari pemerintah baik fiskal maupun non fiskal. Di samping itu, rencana pengenaan pajak karbon disebut malah akan membebani perusahaan.
“Ini yang akan jadi faktor disinsentif nanti bagi pelaku usaha dalam melakukan upaya transisi energi maupun invest di EBT. Semua sangat tergantung pemerintah,” terangnya.