Bisnis.com, JAKARTA - Beragam jurus diterapkan oleh pemerintah di berbagai negara untuk bergerak menuju green economy. Indonesia baru saja meresmikan payung hukum yang mengatur tentang pajak karbon. Di sisi lain, Korea Selatan sudah menerapkan carbon trading sejak 2015.
Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menandai babak baru kebijakan pemerintah Indonesia di bidang pengendalian perubahan iklim. Beleid itu mengatur tentang pengenaan pajak karbon atas emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pemerintah akan menerapkan pajak karbon secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Selain itu, pengenaan pajak ini sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
“Pajak karbon ini fungsinya adalah untuk memastikan bahwa Indonesia itu bergerak menuju green economy. Kita menuju net zero emission,” ujar Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dikutip dari publikasi Kementerian Keuangan, Sabtu (9/10/2021).
Penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil. Pajak karbon akan dilakukan dengan mekanisme cap and tax di sektor karbon yang boleh dikeluarkan.
“Kalau ada yang mengeluarkan karbon di bawah itu atau di atas itu bisa dilakukan trading. Kalau dengan trading masih belum bisa juga, kita lakukan carbon tax. Karena itu, carbon tax ini tidak serta merta kemudian diberlakukan. Dia diberlakukannya tentu menunggu seluruh infrastruktur dari carbon market, dari carbon registry,” kata Suahasil.
Pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mulai 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi. Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Penerapan pajak karbon untuk sektor PLTU diharapkan menjadi langkah awal untuk melebarkan cakupan ke sektor yang lebih luas sehingga dapat memberikan kontribusi kepada green economy Indonesia.
Polusi udara Jakarta terpantau di kawasan jalan layang simpang susun Semanggi dan kawasan Gatot Subroto, baru-baru ini./Bisnis
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Pemerintah tidak melupakan aspirasi jangka panjang, termasuk dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim.
Menurutnya, semua negara harus melakukan transisi energi. Ke depan, konsumsi energi perlu memperhatikan emisi karbon sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan dan disinsentif bagi penggunaan energi fosil beremisi karbon tinggi.
"Pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan, tetapi akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis. Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta," ujarnya dalam acara Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) International Energy Conference secara virtual di Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Gunawan Pribadi, Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian, menambahkan penerapan pajak karbon perlu pengenalan secara bertahap. Langkah itu, imbuhnya, dapat meningkatkan penerimaan dari industri dan memberikan waktu bagi dunia usaha untuk beradaptasi.
"Beberapa negara butuh waktu beberapa tahun sehingga akhirnya pajak karbon diterapkan," ujarnya dalam webinar Carbon Tax Policy: A Key Role in Indonesia's Sustainability, Rabu (6/10/2021).
Pada 2020, Bank Dunia mencatat setidaknya 25 negara telah menerapkan pajak karbon sebagai wujud dari Paris Agreement. Adapun, Indonesia meratifikasi Paris Agreement ke dalam UU No.16/2016.
Sri Wahyuni Sujono, Managing Partner SF Consulting, mengatakan beberapa negara yang telah menerapkan pajak karbon, yaitu Jepang, Singapura, Kolombia, Chile, Prancis, serta Spanyol.
"Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan tarif pajak karbon untuk negara berkembang sekitar US$35-US$100 per ton atau sekitar Rp507.000-Rp1,4 juta per ton. Kalau Indonesia terapkan Rp30 per kg, termasuk tarif yang terendah di dunia," imbuhnya.
Emisi karbon dari Mok-dong Cogeneration Power Plant di Seoul, Korea Selatan pada Januari 2020./Bloomberg
STRATEGI KOREA SELATAN
Di sisi lain, Pemerintah Korea Selatan tidak menerapkan pajak karbon di negaranya. Kendati demikian, Negeri Ginseng sudah memulai sistem perdagangan karbon (carbon trading) sejak 2015 melalui The Korea Emissions Trading Scheme (KETS).
Implementasi sistem tersebut sejalan dengan NDC yang disusun Korea Selatan dalam kerangka Paris Agreement. Pada 2020, Korsel memperbarui target NDC menjadi penurunan 24,4% (173,1 Mt CO2e) pada 2030 dari total GHG emission secara nasional pada 2017 yang mencapai 709,1 Mt CO2e.
Teranyar, UU Netral Karbon yang disusun Pemerintah Korsel mendapat lampu hijau dari Majelis Nasional pada 31 Agustus 2021. Beleid tersebut menjadi payung hukum untuk menanggulangi krisis iklim dan mencapai target netral karbon pada 2050.
Terbitnya regulasi itu sejalan dengan visi Korea Selatan untuk mencapai netral karbon pada 2050 dalam Strategi Jangka Panjang Pengembangan Rendah Emisi (Long-term low Emission Development Strategy/LEDS) yang disampaikan kepada PBB pada Desember 2020.
Menteri Lingkungn Hidup Korea Selatan Han Jeoung-ae mengatakan dengan berlakunya UU Netral Karbon, Korsel memiliki dasar untuk mengejar kebijakan netral karbon selama 30 tahun ke depan.
"Setelah melakukan diskusi sosial, target pengurangan emisi gas rumah kaca jangka menengah panjang akan ditetapkan dalam kisaran yang ditentukan oleh UU. Sementara itu, kami akan melakukan yang terbaik untuk merancang dan mengimplementasikan kajian dampak iklim dan langkah-langkah kebijakan baru lainnya," ujar Han dalam keterangan pers yang dikutip dari situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan.
Turbin angin di perairan Jeju, Korea Selatan, pada Juni 2017./Bloomberg
Sejalan dengan ambisi Korsel untuk mengejar netral karbon pada 2050, The Korea Emissions Trading Scheme (KETS) telah memasuki fase kedua yang berlangsung pada 2018-2021.
Mengutip laporan Environmental Defence Fund (EDF) pada 2018, KETS menetapkan batas atas jumlah emisi tahunan perusahaan sebanyak 125.000 ton CO2e atau lebih sebagai subjek. Perusahaan dengan tempat bisnis yang total emisi tahunannya mencapai 25.000 ton CO2e atau lebih juga menjadi subjek KETS. Sementara itu, perusahaan dengan emisi di bawah threshold dapat berpartisipasi secara volunter.
Dengan skema tersebut, KETS diperkirakan mengikat sekitar 530 perusahaan dari berbagai sektor sebagai entitas yang memiliki kewajiban untuk melakukan carbon trading. Kementerian Lingkungan Korsel mencatat lebih dari 70% GHG Emissions merupakan subjek terhadap KETS.
Perdagangan karbon di Korea dilakukan lewat bursa sejalan dengan pembentukan Platform Informasi Pasar Emisi yang operasikan oleh Korea Exchange (KRX).
Sebagai gambaran, pada Minggu (10/10/2021), perdagangan karbon dengan kode Korean Allowance Units (KAU21) tercatat sebanyak 10.272 ton dengan harga 30.100 won Korea per ton sehingga nilai perdagangannya mencapai 307,6 juta won Korea atau setara dengan Rp3,68 miliar dengan asumsi kurs Rp12 per won.
Chung Suh Yong, Director of Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy Korea University, menuturkan ambisi kebijakan karbon netral Korsel berfokus pada 10 area.
Area tersebut mencakup akselerasi transisi energi yang terkait dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT), transformasi industri menjadi masyarakat netral karbon, mobilitas masa depan dengan kendaraan listrik atau bahkan hidrogen.
"Di Korea sekarang banyak orang membeli mobil listrik karena banyak disubsidi pemerintah, biaya isi ulang baterai EV juga lebih murah dibanding beli BBM, dan lebih terlihat keren kalau pakai EV," ujarnya dalam workshop "Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea" yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.
Seorang peneliti di dalam pabrik penangkap CO2 di Korea Electric Power Corp. (Kepco) Research Institute laboratory in Daejeon pada Juni 2021./Bloomberg
Fokus lainnya ialah penggunaan lahan, laut, dan kota yang rendah karbon, mempromosikan industri rendah karbon, mengembangkan ekosistem ekonomi hijau untuk perusahaan rintisan, mengembangkan ekonomi sirkuler, transisi, pendekatan berbasis komunitas dan lokal, serta membangun kesadaran masyarakat.
Chung menambahkan dalam NDC, Korsel terbuka untuk menjalin kesepakatan dengan negara lain untuk kerja sama alih teknologi maupun hibah untuk memperoleh kredit karbon. Menurutnya, Indonesia punya peluang besar untuk memanfaatkan celah tersebut terutama di bidang kehutanan karena Indonesia memiliki hutan alam yang terbentang luas.
"Apalagi dalam kerangka NSP [New Southern Policy], Indonesia bisa menjadi pusat inisiatif kerja sama terkait iklim," imbuhnya.
Menyoal perdagangan karbon, Chung menyebut sistem harga (carbon pricing) harus diperkenalkan. Dalam konteks tersebut, ada dua cara yang bisa dilakukan, melalui penerapan pajak karbon dan menggunakan sistem perdagangan emisi (emission trading system/ETS).
Menurutnya, Korsel tidak memiliki sistem pajak karbon, tetapi menerapkan ETS. Apapun kebijakan yang diterapken pemerintah terkait sistem harga karbon, lanjutnya, akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat dan pelaku usaha.
"Penting untuk memperkenalkan sistem patokan harga karbon. Apalagi sejalan dengan Paris Agreement, ada kenaikan tren perdagangan karbon," tuturnya.
Dalam konteks perubahan iklim, Chung memaparkan sejumlah potensi kerja sama yang dapat dilakukan Indonesia dengan Korsel. Utamanya di bidang kehutanan, lingkungan laut, mekanisme pasar internasional, dan peringatan dini atau pengurangan risiko bencana.
"Di bidang kehutanan, Indonesia punya banyak potensi karena punya hutan hujan yang luas sekali. Bisa menggandeng Korea untuk berbagi pengalaman dalam aktivitas REDD+, pelestarian hutan dan mangrove, hingga mendorong climate financing," imbuhnya.