Bisnis.com, JAKARTA - Krisis energi saat ini masih menghantui sejumlah negara seprti Inggris, India, dan China. Khususnya China, krisis ini dinilai merupakan dampak dari risiko transisi ke ekonomi hijau yang tidak berjalan dengan baik.
Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri mengatakan krisis energi yang terjadi di Negeri Tirai Bambu disebabkan oleh transisi ke ekonomi hijau yang tidak berjalan dengan mulus.
"Transitional risk harus diperhatikan dengan saksama. Apa yang terjadi saat ini yaitu kenaikan harga coal [batu bara], harga energi, ini pandangan saya pribadi, adalah proses transitional risk yang tidak smooth di China," jelasnya pada acara Low Carbon Development Week "A Green Economy for a Net-Zero Future: How Indonesia can Build Back Better after COVID-19 with the Low Carbon Development Initiative", Rabu (13/10/2021).
Seperti halnya di China, Indonesia perlu berhati-hati dalam menerapkan transisi menuju ekonomi hijau (green economy) atau rendah karbon. Menurut Chatib, transisi yang tidak mulus di China terjadi akibat dekarbonisasi secara terlalu cepat dengan memotong basis supply dari energi.
Pada akhirnya, dekarbonisasi yang terlalu cepat berujung pada penurunan produksi batu bara secara tajam, sehingga harga energi naik ikut naik secara pesat dan ketersediaan energi menjadi terbatas.
"Kita tahu bahwa kita harus menuju ke green [economy], tetapi kita harus memastikan bahwa transitional risk berjalan secara smooth," kata Chatib.
Baca Juga
Apabila transitional risk tidak berjalan mulus, Chatib mengingatkan kenaikan harga energi bisa memicu resistensi terhadap transisi menuju ekonomi hijau.
Di Indonesia, hal ini bisa menjadi lebih buruk mengingat isu lingkungan masih dianggap "barang mewah" dan belum populer di kalangan masyarakat.
"Kalau tidak [transitional risk tidak berjalan mulus], yang terjadi adalah ketika harga energi naik secara signifikan, resistensi terhadap transisi menuju green [economy] itu [menguat] dan justru tidak akan mendapat dukungan politik," kata Chatib.