Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat ada 8.625 kasus sengketa dan konfilik pertanahan pada 2018–2020. Dari jumlah itu, 63,5 persen di antaranya berhasil diselesaikan.
Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN Agus Widjayanto mengatakan bahwa saat ini sudah ada 5.470 kasus sengketa dan konflik pertanahan yang berhasil diselesaikan.
Jumlah tersebut sama dengan 63,5 persen dari total persoalan sengketa dan konflik pertanahan yang dicatat pemerintah sebanyak 8.625 kasus.
“Masih tersisa 3.145 kasus yang terus berjalan proses penyelesaiannya,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (6/10/2021).
Dia menuturkan, sengketa dan konflik pertanahan umumnya merupakan perbedaan persepsi kepentingan antara dua pihak atau lebih, baik antarindividu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, maupun individu dengan korporasi.
Kementerian ATR/BPN pun berkomitmen penuh untuk menyelesaikan persoalan sengketa dan konflik pertanahan yang terjadi di masyarakat.
Baca Juga
Di sisi lain, banyaknya kasus sengketa dan konflik pertanahan yang muncul disinyalir disebabkan oleh proses jual beli maupun peralihan aset yang tidak sesuai dengan prosedur resmi.
Dia pun meminta kepada masyarakat untuk lebih teliti sebelum membeli tanah, dan memahami status serta identitas lahan tersebut secara lengkap.
Menurutnya, satu bidang tanah hanya memiliki satu sertifikat, sehingga jika ada sertifikat lain di bidang tersebut, maka dapat dipastikan tidak sah.
“Bisa sertifikatnya yang tidak benar atau alas haknya yang tidak benar. Oleh karena itu, salah satu sertifikatnya dapat dibatalkan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, peristiwa tersebut bisa terjadi karena sertifikat hak status tanah kurang jelas ketika proses jual beli tanah dilakukan. Oleh karena itu, proses jual beli tanah harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang kemudian melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan setempat.
“PPAT itu cek ke Kantor Pertanahan, ini ada sita tidak, ada sengketa tidak. Kalau tidak ada baru dipastikan aman dan akan dilakukan pembuatan akta jual beli. Ketika ada akta jual beli, baru dapat sah balik nama,” ucapnya.