Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut konflik pertanahan banyak disebabkan oleh proses jual beli yang tidak sesuai prosedur.
Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN R.B Agus Widjayanto mengatakan bahwa proses jual beli maupun peralihan aset tanah yang tidak sesuai prosedur membuka celah adanya penyalahgunaan dan konflik pertanahan.
Umumnya, sengketa dan konflik pertanahan adalah perbedaan persepsi kepentingan antara dua pihak atau lebih, baik antarindividu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, dan individu dengan korporasi mengenai status penguasaan serta pemilikan tanah atau keputusan pejabat tata usaha negara di bidang pertanahan.
“Ini kemudian muncul ke permukaan sebagai suatu sengketa dan konflik perkara,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (4/10/2021).
Berdasarkan data sengketa konflik Kementerian ATR/BPN, pada 2018–2020 terdapat 8.625 kasus konflik pertanahan yang terjadi di dalam negeri.
Saat ini, lanjutnya, telah diselesaikan 63,5 persen atau sejumlah 5.470 kasus sengketa dan konflik, sehingga tersisa 3.145 kasus yang masih berjalan terkait penyelesaiannya.
Agus menuturkan, masyarakat harus lebih teliti sebelum membeli dan memahami dengan baik status tanah, serta identitas lengkap tanah yang diminatinya.
Berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, macam-macam hak-hak atas tanah, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai.
“Itu yang tertuang di Pasal 16 UU PA, selain macam hak atas tanah tersebut tidak ada,” ucapnya.
Dia pun menegaskan, satu bidang tanah hanya ada satu sertifikat, dan jika ada sertifikat lain maka sudah dipastikan itu tidak sah.
“Bisa sertifikatnya yang tidak benar maupun alas haknya yang tidak benar. Oleh karena itu, salah satu sertifikatnya dapat dibatalkan,” katanya.
Menurutnya, alur proses jual beli tanah bersertifikat harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Setelah itu, PPAT akan melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan setempat.
“PPAT itu cek di Kantor Pertanahan, ini ada sita tidak, ada sengketa tidak. Kalau tidak ada baru dipastikan aman dan akan dilakukan pembuatan akta jual beli. Ketika ada akta jual beli, baru dapat sah balik nama,” tuturnya.
Agus menambahkan bahwa celah-celah penipuan dapat terjadi ketika jual beli tanah terjadi tanpa prosedur yang tepat. Oleh karena itu, saat pembuatan akta jual beli dilakukan perlu dilakukan pengecekan terlebih dulu.
Untuk mendapatkan informasi seputar pertanahan yang valid dan kredibel, dia mengimbau kepada masyarakat untuk mengaksesnya langsung ke Kantor Pertanahan setempat.
“Seperti di Kementerian ATR/BPN ini terdapat tim Humas yang selalu memberikan informasi dan ketentuan mengenai pertanahan. Bagaimana supaya masyarakat membeli tanah dengan aman. Demikian juga di Kantor Pertanahan, bisa datang di sana dan bertanya mengenai informasi tanah yang diperoleh,” kata Agus.