Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia telah mencetak beberapa rekor dalam waktu belakangan ini. Jumlah kasus infeksi Covid-19 harian di Indonesia bahkan mencetak rekor tertinggi yaitu 29.745 orang sertamenjadi yang tertinggi kedua di dunia setelah India, Senin (5/7/2021).
Kondisi tersebut diperkirakan turut memengaruhi kondisi perekonomian Indonesia khususnya untuk kuartal III/2021. Pasalnya, tidak hanya lonjakan, pemerintah juga memberlakukan pembatasan ketat untuk mengendalikan laju penyebaran virus melalui PPKM darurat.
Akan tetapi, investasi yang merupakan salah satu indikator pertumbuhan perekonomian di Indonesia diperkirakan tidak akan terlalu terdampak oleh lonjakan kasus akhir-akhir ini.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menjelaskan investasi tidak akan terdampak secara signifikan akibat kenaikan kasus Covid-19. Pasalnya, proses investasi merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan dalam waktu yang lama.
“Kalau untuk kuartal III ini, sebenarnya investasi bukan sesuatu yang baru ditetapkan dan direncanakan, namun sudah dari waktu yang lama. Jadi kemungkinan tidak terlalu bermasalah. Kalau pun ada penurunan, itu karena realisasinya yang berkurang karena adanya pembatasan,” jelas Yose kepada Bisnis, Selasa (6/7/2021).
Meski begitu, Yose mengingatkan bahwa dampak yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan institusi ekonomi lainnya adalah dampak jangka panjang. Menurutnya, dampak jangka pendek seperti penurunan realisasi investasi hanya bersifat sementara mengikuti penanganan laju penyebaran virus.
Baca Juga
“Ini sifatnya bisa kita hadapi dalam waktu dua bulan ke depan. Mudah-mudahan pemulihan ekonomi bisa berlanjut lagi dalam satu atau dua bulan ke depan,” kata Yose.
Menurut Yose, hal yang perlu diperhatikan seharusnya adalah persepsi investor dalam melihat kesiapan berbagai institusi di Indonesia, khususnya pemerintahan, dalam menghadapi krisis seperti yang kini dialami.
Yose menilai Indonesia tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi situasi krisis seperti yang kini terjadi sehingga hal tersebut bisa menjadi indikator bagi para penanam modal untuk melakukan investasi dalam jangka panjang di Indonesia.
Dia berpandangan apabila pemerintah Indonesia belum bisa secara efektif menghadapi krisis seperti sekarang ini, maka kemampuan pemerintah dalam mereformasi institusi atau kerangka kebijakan (regulatory framework) secara besar- besaran seperti yang dicanangkan dalam UU Cipta Kerja, perlu dipertanyakan.
Kualitas intitusi pemerintahan dan ekonomi, kata Yose, juga termasuk dalam perhitungan investor dalam memutuskan untuk berinvestasi. “Menghadapi krisis kita kelabakan dan hampir tidak ada persiapan. Bagaimana kita bisa merubah institusi secara luas, termasuk struktur ekonomi kita, kalau menghadapi krisis saja kita tidak mampu,” jelasnya.
Ketidakmampuan tersebut terlihat dari tertinggalnya Indonesia dari negara-negara lain yang sudah memasuki masa pemulihan ekonomi. Tentunya, setelah selesai mengatasi krisis kesehatan dari pandemi Covid-19 yang semakin mengganas setelah munculnya sejumlah varian virus baru.
Hal tersebut, ujar Yose, menjadikan Indonesia pengecualian (exception) dalam konotasi negatif. Yose menilai Indonesia belum memasuki masa pemulihan ekonomi, tidak seperti sejumlah negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat (AS).
Dia menilai hal ini yang akan memengaruhi daya tarik investor untuk melakukan investasi di Indonesia.
“Permasalahannya lebih kepada persepsi investor. Kalau masalah dampak investasi terhadap perekonomian, saya yakin dua bulan ke depan bisa kembali pulih. Namun, apa yang terjadi dalam dua bulan tersebut masih termasuk dalam persepsi negatif investor. Seharusnya, kita sudah masuk ke pemulihan ekonomi sejak beberapa bulan lalu,” pungkasnya.