Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebutkan bahwa andil daging ayam ras terhadap inflasi selama Ramadan dan Lebaran cenderung rendah. Pasalnya, pasokan dan harga daging ayam terpantau stabil dan terkendali.
Berdasarkan perkiraan Kementan akan kebutuhan daging ayam pada Mei dan Juni 2019, terdapat surplus sekitar 30.373 ton dengan proyeksi kebutuhan sebesar 562.833 ton, sedangkan ketersediaan sebesar 593.206. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Fini Murfiani dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (13/6/2019) pun menyebutkan bahwa harga daging ayam ras selama periode ini berdasarkan pemantauan Petugas Informasi Pasar (PIP) cenderung stabil.
“Ditjen PKH melalui Petugas Pelayanan Informasi Pasar (PIP) terus melakukan pemantauan data harga di 158 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia,” ungkap Fini, Jumat (14/6/2019).
Fini menyebutkan rata-rata harga daging ayam di tingkat konsumen bulan Mei berada di angka Rp33.469/kg, sedangkan harga pada H-5 Lebaran sebesar Rp33.756/kg. Fini menyebut harga pada H+5 mulai turun menjadi Rp33.505/kg.
Sementara itu, harga ayam hidup di tingkat produsen pada Mei berada di kisaran Rp20.824/kg dengan harga pada H-5 Lebaran merangkak naik di angka Ro21.053/kg dan turun menjadi Rp20.204/kg lima hari usai Lebaran.
“Data tersebut menjelaskan kondisi harga ayam baik di tingkat produsen dan konsumen masih stabil pada saat Ramadan, Lebaran dan pasca-Lebaran.”
Baca Juga
Selain itu, ketersediaan dan harga daging ayam ras selama bulan Ramadan dan Idulfitri juga terkendali, sehingga berdampak terhadap rendahnya andil angka inflasi dari komoditas tersebut.
Hal ini terlihat dari data BPS yang telah mencatat hasil survei biaya hidup di 82 kota bahwa kelompok bahan makanan pada Mei 2019 berkontribusi terhadap inflasi sebesar 2,02 persen, di mana andil inflasi dari daging ayam untuk bahan makanan hanya sebesar 0,05 persen, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan Mei tahun lalu sebesar 0,07 persen.
“Kita dapat simpulkan secara nasional andil inflasi dari daging ayam cukup rendah,” ujarnya.
Ia pun tak memungkiri ada beberapa daerah memiliki kontribusi untuk komoditas daging ayam yang menyebabkan peningkatan inflasi, namun hal tersebut terjadi karena ada peningkatan permintaan masyarakat terhadap daging ayam. Fini menyebutkan tren harga daging ayam yang andil pada inflasi terjadi di daerah dengan jumlah pemudik yang besar.
"Hal ini terjadi provinsi Sumatra Selatan terutama Kota Lubuk Linggau yang merupakan kota transit menuju provinsi di wilayah Sumatra dengan inflasi mencapai 0,88 persen, begitu pula di Provinsi Jawa Timur peran daging ayam untuk inflasi sekitar 0,29 persen karena permintaan meningkat serta adanya budaya ruwahan," papar Fini.