Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menilai Greenpeace tidak bisa memaksakan perusahaan pengalengan tuna di Indonesia untuk memenuhi kriteria ketertelusuran dan keberlanjutan sumber bahan baku yang dianut LSM yang berpusat di Amsterdam, Belanda, itu.
Kasubdit ZEE dan Laut Lepas Direktorat Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Tampubolon berpendapat kebutuhan ketertelusuran di negara maju dan negara berkembang berbeda. Greenpeace tidak dapat menuntut ketertelusuran harus dapat diakses publik paling lambat 2020.
"Kita masih memikirkan perut, mereka (negara maju) sudah memikirkan vitamin. Tidak bisa kita rata-ratakan," ujarnya menanggapi laporan Greenpeace tentang Peringkat Industri Pengalengan Tuna Indonesia 2016 pada Kamis (17/11/2016).
Pemerintah, lanjutnya, bisa memaklumi jika prinsip traceability itu diterapkan untuk produk yang berorientasi ekspor. Sebaliknya, prinsip itu tidak perlu diberlakukan untuk produk yang menyasar pasar domestik karena tidak sejalan dengan kepentingan Indonesia meningkatkan konsumsi ikan dan protein nasional.
Lagipula, kata dia, Indonesia sudah memenuhi kriteria ketertelusuran dan keberlanjutan yang ditetapkan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organizations/RFMO). Aturan RFMO-lah yang dianut Indonesia dalam menangkap tuna di zona ekonomi eksklusif dan laut lepas.
Saut juga menyoroti tuntutan Greenpeace mengenai keharusan menggunakan huhate (pole and line), pancing (handline), atau purse seine tanpa menggunakan rumpon, untuk alasan ramah lingkungan.
Menurutnya, tidak ada alat penangkap ikan benar-benar ramah lingkungan di dunia ini. Oleh karena itu, tutur dia, yang diperlukan adalah mitigasi.
"Diatur, ada harvest controlling rule. WCPFC (the Western and Central Pacific Fisheries Commission) melarang purse seine digunakan selama Juli-Oktober setiap tahun. Long line juga diatur. Indonesia misalnya, cuma bisa bisa menangkap (diberi kuota) 5.889 ton per tahun," jelasnya.
Saut menilai tujuh kriteria Greenpeace dalam memeringkat perusahaan pengalengan tuna sebaiknya didiskusikan mengingat beberapa kriteria tak diterapkan oleh RFMO, misalnya mengenai tanggung jawab sosial (equity) yang a.l. menyangkut antiperbudakan.
Greenpeace juga tidak dapat serta-merta menjatuhkan peringkat negatif kepada perusahaan yang tidak ikut serta dalam survei karena tidak adil bagi perusahaan bersangkutan dan bagi kepentingan Indonesia. "LSM tidak boleh merasa punya kebenaran absolut."
Greenpeace Asia Tenggara mengumumkan dua perusahaan pengalengan tuna Indonesia berperingkat buruk karena sumber bahan baku yang tidak sesuai prinsip keberlanjutan.
Dalam laporan yang dirilis Kamis (17/11/2016), Greenpeace menyampaikan hasil surveinya terhadap 15 perusahaan pengalengan tuna di Nusantara. Tak ada satu pun yang meraih predikat hijau (good). Sebanyak enam perusahaan berpredikat kuning (fair), dua berpredikat merah (failed), dan tujuh berpredikat ungu (did not participate).
Penilaian menggunakan tujuh kriteria, yakni ketertelusuran, keberlanjutan, legalitas, tanggung jawab sosial, kebijakan asal bahan baku, transparansi dan informasi konsumen, serta inovasi untuk perubahan.
Seluruh perusahaan yang mengikuti survei tak memenuhi kriteria inovasi untuk perubahan. Bahan baku sebagian besar perusahaan tak sepenuhnya memenuhi prinsip ketertelusuran, keberlanjutan, legalitas, tanggung jawab sosial, dan kebijakan asal bahan baku.
Greenpeace mempersoalkan sebagian perusahaan yang menggunakan kapal dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine) karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan.