Bisnis.com, JAKARTA--Asosiasi perusahaan pengembang Realestate Indonesia (REI) menilai kenaikan batas maksimal harga rumah sebesar 5% yang bisa menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak banyak menggairahkan pengembang dalam penyediaan hunian murah.
Sebelumnya, Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Maurin Sitorus mengatakan dalam dua bulan ke depan pihaknya akan menaikan batasan maksimal harga rumah FLPP sebesar 5%.
Pasalnya, harga yang tercantum sesuai Peraturan Menteri PU-Pera no.20/2014 tentang FLPP dibuat pada 24 April 2014 lalu, sehingga memerlukan penyesuaian terkini.
Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy menuturkan setiap tahun, batas harga rumah bersubsidi yang diseragamkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no.113/PMK.03/2014 tentang Batasan Rumah yang Bebas dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memperhitungkan kenaikan sekitar 5% setiap tahun.
Namun, fakta di lapangan mengatakan adanya inflasi, kenaikan harga tanah, dan juga biaya konstruksi membuat ongkos produksi lebih mahal.
“Memang perlu adanya kenaikan batas harga maksimum, tetapi kalau 5% itu tidak banyak membantu, sehingga sulit pengembang menjual [hunian] dengan standar FLPP,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Minggu (21/6/2015).
Asosiasi mengajukan agar harga jual rumah sederhana tapak (RST) dipatok maksimal Rp200 juta per unit, dan rumah susun sederhahana milik (rusunami) sebesar Rp10 juta per meter persegi. Kenaikkan di tahun berikutnya sebesar 5% ditambah inflasi tahun berjalan.
Alasannya, sambung Eddy, REI melihat kriteria dari Kementerian PU-Pera perihal masyarakat yang bisa mengakses FLPP memiliki penghasilan Rp4 juta per bulan memiliki kemampuan membeli rumah di atas harga Rp200 juta. Pasalnya, konsumen diberikan kemudahan uang muka 1%, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) 5% dengan tenor 20 tahun atau skema 1:5:20.
Adanya standar yang lebih tinggi juga mencakup masyarakat dalam jumlah lebih besar, sehingga masalah backlog (defisit hunian) lebih mudah teratasi.
“Cuma kalau harga yang dipatok terlalu rendah, akhirnya produksi terbatas, suplainya gak banyak. Dan banyak masyarakat yang butuh, justru tidak bisa menikmati fasilitas FLPP ,” pungkasnya.
Masalahnya ialah adanya regulasi tersebut kurang menggairahkan pengembang untuk menyediakan rumah FLPP. Misalnya, harga rumah awalnya Rp115 juta, naik 5% menjadi Rp120 juta.
Padahal, idealnya harga rumah naik menjadi Rp135 juta atau Rp140 juta. Pengembang akhirnya bertahan dengan harga tersebut, walaupun tidak masuk skema FLPP karena masih membutuhkan laba.