BISNIS.COM, GROBOGAN -- Petani jagung meminta agar pemerintah mempercepat pemrosesan izin bagi produk pertanian berbasis bioteknologi.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah Heru Eko Cahyono menilai produk bioteknologi mempermudah petani mengantisipasi perubahan cuaca dan hama.
"Petani jagung selalu berspekulasi untuk menebak cuaca dan Organisme Penganggu Tumbuhan atau OPT setiap akan menanam. Tahun lalu saya ke Filipina, benih bioteknologi terbukti lebih resisten terhadap perubahan cuaca dan OPT," ungkapnya, Rabu (20/3/2013).
Heru menambahkan benih biotkenologi juga terbukti mampu meningkatkan produktivitas karena porsi tanaman yang terkena serangan bulai relatif lebih sedikit. Dengan demikian, lanjutnya, penggunaan bibit ini bakal turut mendukung program swasembada jagung yang dicanangkan pemerintah.
Selain itu, isu keamanan pangan yang kerap menyertai penggunaan bioteknologi dinilainya sudah tidak relevan. Menurutnya, Indonesia telah menjadi konsumen produk-produk bioteknnologi setelah pemerintah memutuskan untuk mengimpor beberapa komoditas seperti jagung dan kedelai.
"Mungkin sudah 10 tahun lebih Indonesia mengimpor jagung dan kedelai dari negara-negara yang menggunakan bioteknologi. Kalau memang tidak aman, pasti ada laporannya sekarang," ungkapnya.
Corporate Affairs PT Monsanto Indonesia Herry Kristanto menuturkan Indonesia jauh tertinggal dalam hal penerapan bioteknologi di sektor pertanian. Di Filipina saja penggunaan bioteknologi sudah lebih dari 10 tahun dan terbukti aman," ujarnya.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan Monsanto, lanjutnya, penggunaan benih transgenik terbukti mampu meningkatkan produktivitas tanaman hingga 10%--20%. Hal tersebut terjadi karena efisiensi penyerapan hara oleh tanaman.
Penggunaan benih transgenik, ujarnya, bakal berimbas pada ketiadaan rumput penganggu di sekitar tanaman. Menurutnya, rumput penganggu merupakan 'rival' tanaman dalam berebut unsur hara sehingga kerap membuat tanaman tidak bisa tumbuh maksimal.
Herry menambahkan Monsanto Indonesia tengah mengurus berbagai perizinan agar bibit transgeniknya bisa segera dilepas secara komersil.
"Untuk sertifikat keamanan pangan kami sudah kantongi. Adapun untuk sertifikat keamanan pakan tinggal menunggu assesment Kementerian Pertanian, sedangkan keamanan lingkungan masih diurus," ujarnya.
Sebagai tambahan informasi, agar bisa memasarkan benih bioteknologi secara komersial sebuah perusahaan harus mengurus sertifikat keamanan pangan, keamanan pakan, dan keamanan lingkungan. Setelah mendapatkan sertifikat benih bitoeknologi masih harus mengalami uji multilokasi selama 1--2 kali masa tanam.
Sebelumnya, Ketua Komisi Keamanan Hayati Agus Pakpahan memperkirakan penerapan biotkekologi secara komersial baru bisa diterapkan di Indonesia pada 2015. Dua komoditas yang dinilai paling siap untuk penerapan teknologi ini adalah jagung dan tebu.