Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mode Survival Smelter Nikel: Setop Produksi hingga PHK Karyawan

Industri smelter nikel di Indonesia menghadapi tantangan akibat penurunan harga dan permintaan nikel, memicu efisiensi produksi dan PHK karyawan.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Berlanjutnya tren penurunan harga dan lemahnya permintaan nikel membuat industri smelter nikel ramai-ramai melakukan efisiensi, mulai dari memangkas produksi hingga merumahkan karyawannya.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat setidaknya terdapat empat smelter besar investasi dari China di wilayah Sulawesi yang menyetop sebagian atau total lini produksinya sebagai bentuk efisiensi untuk keberlanjutan usaha.

Empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 lini produksi nikel sejak awal tahun 2024. Sepanjang tahun lalu, tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari PT GNI.

Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik.

Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak dirumahkan.

“Ini upaya nyata yang dilakukan para pengusaha smelter nikel di Indonesia untuk mempertahankan kelangsungan produksi,” kata Anggota Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno kepada Bisnis, dikutip Rabu (30/7/2025).

Djoko menerangkan, setiap perusahaan smelter menghadapi tantangan kompleks yang berbeda. Misalnya, PT GNI menutup sebagian besar lini produksi karena harga nikel yang terus anjlok, konflik sosial dan biaya listrik yang mahal.

Sementara itu, kondisi pada HNAI disebutkan karena anjloknya harga nikel dan permintaan yang stagnan, sedangkan ITSS karena tekanan oversupply dan tekanan pasar baja. Di sisi lain, VDNI melakukan efisiensi kapasitas dan transisi ke smelter high pressure acid leach (HPAL).

Dalam kondisi seperti ini, pengusaha kini tengah berupaya untuk mempertahankan produksi dengan meminimalkan kerugian melalui efisiensi dan diversifikasi, mencari dukungan regulasi dan insentif dari pemerintah.

Sementara itu, pemerintah diharapkan hadir sebagai fasilitator aktif dalam menjaga iklim usaha yang sehat, menyediakan pasokan bijih yang stabil, serta mendorong transformasi teknologi menuju rantai pasok EV battery yang berkelanjutan.

Mode Survival Smelter Nikel: Setop Produksi hingga PHK Karyawan

Baterai Nikel Perlu Dipacu

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho mengatakan, pasokan bijih nikel tahun lalu yang mencapai 240 juta ton belum terserap optimal di smelter-smelter dalam negeri seiring pengurangan produksi yang dilakukan perusahaan smelter.

“Jadi memang ada pengurangan produksi [smelter], menurut kami ini sejalan dengan perekonomian global dan harga juga turun sehingga smelter mengurangi produksi untuk menunggu sinyal harga naik,” kata Fathul saat ditemui di Jakarta, Rabu (30/7/2025).

Dalam hal ini, Fathul juga menyoroti permintaan nikel domestik yang terus turun. Menurut dia, hal ini sejalan dengan kompetisi teknologi baterai antara lithium ferro phosphate (LFP) dengan nickel manganese cobalt (NMC) yang akhirnya memicu penurunan permintaan NMC.

“Nah, ini akhirnya terjadi penurunan permintaan feronikel dan NPI [nickel pig iron] dari hasil smelter-smelter di Indonesia,” jelasnya.

Untuk itu, dia mendorong pemerintah untuk mendukung baterai EV berbasis nikel mendapatkan insentif sehingga para industri pengguna dapat menyerap produksi nikel nasional.

“Kami Aspebindo mendorong pemerintah agar mobil-mobil yang masuk ke Indonesia itu teknologinya lebih diutamakan atau insentifnya itu diarahkan mobil-mobil yang berbasis ke nickel mangan cobalt tadi sehingga nikel Indonesia ini bisa diserap pasar lebih banyak,” tuturnya.

Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) harga nikel mengalami penurunan pada periode kedua Juli 2025. Harga nikel kadar 1,8% dengan moisture content (MC) 30% yakni mencapai US$35,73 per wet metric ton (wmt), turun tipis dari periode sebelumnya yang sebesar US$35,73 per wmt.

Sementara itu, penurunan harga tercatat di hampir seluruh kadar nikel. Untuk kadar 1,8% dengan MC 35%, harga turun menjadi US$33,18 per wmt, dibanding sebelumnya US$33,18 per wmt.

Investasi Smelter Nikel Turun

Pakar pertambangan menilai efisiensi produksi yang dilakukan sejumlah smelter nikel di Sulawesi dapat mengganggu iklim investasi hilirisasi mineral di Indonesia. Terlebih, sinyal tren penurunan investasi smelter nikel mulai terjadi.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan, kondisi penutupan lini produksi smelter nikel saat ini disebabkan faktor internal dan eksternal.

Secara keuangan, perusahaan-perusahaan smelter ini terlihat mengalami penurunan dari induk usahanya yang menyebabkan anak usahanya ikut memangkas produksi.

Sementara itu, secara eksternal, dia melihat secara global kondisi keekonomian nikel tidak bagus. Pasalnya, harga relatif rendah dan permintaan juga menurun, bahkan terjadi oversupply nikel di pasaran.

"Iya sangat mengganggu karena dampaknya bisa bertautan, termasuk juga investasi industri nikel menjadi agak terhambat," kata Bisman kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

Jika merujuk data realisasi investasi dari Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) terjadi penurunan penanaman modal di smelter nikel secara kuartalan dan maupun tahunan.

Adapun, pada triwulan II/2025 tercatat investasi smelter nikel mencapai Rp46,3 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya senilai Rp47,82 triliun dan triwulan II/2024 sebesar Rp47,5 triliun.

Menurut Bisman, kondisi ini disebabkan penurunan harga komoditas nikel yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

Namun, dia melihat penurunan harga ini dapat dijadikan sebagai peluang untuk mempercepat mengembangkan industri hilir nikel dan membangun ekosistem industri berbasis nikel.

"Mumpung harga nikel kurang baik maka bisa mendapatkan raw material lebih murah sehingga jika ditingkatkan produknya akan mempunyai nilai tambah yang tinggi," tuturnya.

Namun, dalam jangka pendek, pemerintah diminta untuk segera waspada dan melakukan upaya mitigasi, utamanya terkait risiko pengurangan tenaga kerja atau PHK dan dampak sosialnya.

"Jika diperlukan pemerintah bisa turun tangan dengan memberikan dukungan dan insentif sebagai upaya mencegah semakin terpuruk," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro