Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biang Kerok Banyak Smelter Nikel Pangkas hingga Setop Produksi

Sejumlah smelter nikel di Indonesia memangkas hingga menutup sejumlah lini produksinya.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkap sejumlah smelter nikel memangkas maupun menghentikan lini produksinya lantaran tekanan dari sisi harga yang terus anjlok hingga beban ongkos produksi. 

Anggota Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan, terdapat empat smelter di wilayah Sulawesi yang menyetop beberapa lini produksi sebagai bentuk efisiensi untuk keberlanjutan usaha. 

“Ini upaya nyata yang dilakukan para pengusaha smelter nikel di Indonesia untuk mempertahankan kelangsungan produksi,” kata Djoko kepada Bisnis, dikutip Rabu (30/7/2025). 

Dia memerinci empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 lini produksi nikel sejak awal tahun 2024. Sepanjang tahun lalu, tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari PT GNI. 

Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik. 

Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak dirumahkan.  

"Jadi kabar tersebut memang terjadi, terutama smelter milik HNAI yang beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan," tuturnya.

Djoko menerangkan, setiap perusahaan smelter menghadapi tantangan kompleks yang berbeda. Misalnya, PT GNI menutup sebagian besar lini produksi karena harga nikel yang terus anjlok, konflik sosial dan biaya listrik yang mahal. 

Sementara itu, kondisi pada HNAI disebutkan karena anjloknya harga nikel dan permintaan yang stagnan, sedangkan ITSS karena tekanan oversupply dan tekanan pasar baja. Di sisi lain, VDNI melakukan efisiensi kapasitas dan transisi ke smelter high pressure acid leach (HPAL). 

Dalam kondisi seperti ini, pengusaha kini tengah berupaya untuk mempertahankan produksi dengan meminimalkan kerugian melalui efisiensi dan diversifikasi, mencari dukungan regulasi dan insentif dari pemerintah.

Sementara itu, pemerintah diharapkan hadir sebagai fasilitator aktif dalam menjaga iklim usaha yang sehat, menyediakan pasokan bijih yang stabil, serta mendorong transformasi teknologi menuju rantai pasok EV battery yang berkelanjutan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro