Bisnis.com, JAKARTA – DPR menyoroti ketidaksesuaian manifest penumpang dalam insiden tenggelamnya kapal motor penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali pada Kamis (3/7/2025) lalu.
Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, menyebut ketidaksesuaian manifest tidak hanya menghambat proses pencarian dan evakuasi korban, tetapi juga menyulitkan pencairan klaim asuransi bagi keluarga korban yang tidak tercatat di manifest kapal.
Masalah ini lanjutnya, berakar dari regulasi Kementerian Perhubungan yang tidak tepat, yaitu Keputusan Menteri [KM] No.58/2003 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri [PM] No.66/2019 tetapi hanya formulasi tarifnya saja yang diubah sedangkan permasalahan tiket penumpang kendaraan yang dihapuskan tidak ikut diubah.
"Inilah akhirnya menjadi regulasi yang salah yang menetapkan penumpang kendaraan dan supir tidak bertiket,” ujarnya, dikutip Selasa (8/7/2025).
BHS yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI ini menjelaskan, dalam ketentuan tarif angkutan penyeberangan saat ini, penumpang yang berada di dalam kendaraan tidak diwajibkan memiliki tiket secara individu. Akibatnya, banyak dari mereka tidak tercatat secara resmi dalam manifest kapal.
“Ini bukan semata kesalahan operator pelayaran. Akar persoalannya terletak pada regulasi pemerintah yang tidak tepat pada 2003 yang saat ini masih menjadi pedoman untuk tidak mewajibkan penumpang dalam kendaraan apapun bertiket sehingga pendataan jumlah penumpang menjadi rancu," jelasnya.
Baca Juga
Pada insiden KMP Tunu ini, ada empat kendaraan mobil yang seharusnya tiketnya sudah termasuk 1 supir 4 penumpang tetapi karena tidak bertiket, penumpang mobil itu tidak masuk data yang harus dievakuasi maupun mendapatkan santunan asuransi.
"Ini jelas sangat merugikan masyarakat yang menjadi korban maupun keluarga korban,” tegasnya.
Dalam KM 58/2003 tiket, sambung BHS, satu mobil sudah termasuk 4 penumpang yang harus di-cover oleh asuransi maka saya menekankan kepada Jasa Raharja untuk mengcover penumpang yang tidak mempunyai tiket atau terdaftar di manifest.
Dia juga mendesak Menteri Perhubungan segera merevisi regulasi KM 58/2003 dan mengembalikan sistem satu penumpang kendaraan satu tiket guna memastikan keakuratan data manifest.
Menurutnya, keakuratan manifest merupakan aspek vital dalam keselamatan pelayaran, khususnya saat proses evakuasi dan penanganan korban kecelakaan laut.
“Manifest itu penting dan menyangkut keselamatan publik karena pada saat kejadian kecelakaan alat keselamatan daripada kapal harus bisa mencukupi jumlah penumpang dan kru sebagai pelayan di transportasi laut,” katanya.
Selain itu, dia meminta Menteri Perhubungan merealisasikan aspirasi dari operator transportasi yang menyampaikan bahwa perhitungan tarif yang diberlakukan saat ini masih belum sesuai dengan perhitungan biaya saat ini dan bahkan masih menggunakan perhitungan biaya 2019 yang sudah tertinggal HPP-nya sebesar 31,8% dimana saat itu Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, ASDP, YLKI dan Asosiasi Gapasdap sudah menyetujui dan harusnya sudah menjadi pedoman tarif.
"Bila tidak direalisasi sama dengan Kemenhub melanggar aturan perundang-undangan dan ini bisa membahayakan terhadap keselamatan dan kenyamanan konsumen yang menggunakan transportasi penyeberangan,” katanya.