Bisnis.com, JAKARTA - Kecelakaan tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali perlu menjadi evaluasi besar dalam praktik penyeberangan mulai dari tak lagi memuat truk obesitas hingga meningkatkan kemampuan respons time terhadap peristiwa force majeure.
Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, menyampaikan rasa duka dan keprihatinannya atas insiden kecelakaan kapal motor penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya yang terjadi di selat Bali antara Pelabuhan Katapang dan Gilimanuk itu menelan korban jiwa pada Kamis (3/7/2025) dini hari.
Pasalnya, sehari sebelum kejadian. BHS baru saja hadir di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Selasa (1/7/2025). Dia telah menekankan kepada KSOP, ASDP dan semua perusahaan pelayaran yang hadir pada saat itu maupun instansi lain menjaga kondisi angkutan penyeberangan di lintasan gemuk itu.
Dia menegaskan pentingnya kecukupan kapasitas angkut, keselamatan, keamanan dan kenyamanan pelayaran dan proteksi kapal-kapal ini. Jika terjadi kondisi darurat, emergency coast guard harus siap sesuai UU Pelayaran No.17/2008 diubah dengan UU No.66/2024 yang ditugaskan adalah KPLP.
Hanya saja turunan payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) belum direalisasikan hingga saat ini, sehingga perlu adanya ketegasan tugas KPLP dan penguatannya dari sisi infrastruktur maupun SDM-nya agar jaminan keselamatan pelayaran akan lebih maksimal.
"Saya juga menekankan bahwa saat mereka akan berlayar harus dipastikan dari sisi kelaikan kondisi kapal itu sendiri maupun kondisi kapal setelah dimuati muatan karena sering terjadi muatan truk itu overload yang tidak diketahui oleh nahkoda," jelasnya, dikutip Minggu (6/7/2025).
Baca Juga
BHS meminta bahwa yang dimuat di Ketapang-Gilimanuk harus ZERO ODOL atau tanpa truk overdimension over load, karena saat ini musim gelombang laut, cuaca buruk sehingga diharapkan muatan kapal tidak overload akibat truk ODOL.
"Di saat terjadinya kecelakaan KMP Tunu saat itu kondisi kendaraan di waktu peak atau waktu puncak muatan dari pelabuhan Ketapang Banyuwangi adalah dari jam 21.00 sampai dengan pukul 02.00 maka disitu lah semua komponen keselamatan dan keamanan harus siap siaga di lokasi," tuturnya.
Komponen penyelamat, lanjut BHS, harus sudah siap saat waktu puncak muatan. Kemudian, response time juga harus terukur jangan sampai tidak terukur bahkan baru hadir 3 sampai 4 jam setelah kejadian.
"Maka dari itu perlu dibuat standardisasi response time tidak boleh lebih dari 15 menit. Maka dari itu, pangkalan coast guard KPLP maupun Basarnas harus dekat dengan kepadatan lalu lintas angkutan laut atau penyeberangan ini," tambahnya.
Menurut Kapoksi Komisi VII DPR-RI ini, perlunya data muatan truk yang akan menggunakan transportasi penyeberangan harus akurat berdasarkan penimbangan truk di jembatan timbang.
Sayangnya, data berat muatan kendaraan truk tidak diberikan kepada operator kapal penyeberangan karena banyak jembatan timbang yang belum aktif beroperasi di Jawa Timur dan bahkan jembatan timbang di terminal penyeberangan juga tidak difungsikan.
Padahal, kapal mempunyai satu keterbatasan kemampuan daya apung untuk menahan berat muatan kendaraan terutama truk tronton dan truk besar apalagi muatan truk tersebut ODOL. Ini bisa mengakibatkan kehabisan daya apung (displacement kapal) atau bahkan terjadi unstability atau stabilitas negatif akibat beban terlalu berat di atas truk.
"Ini bisa mengakibatkan kapal terbalik dan ini sering terjadi di lintasan Ketapang Gilimanuk pada kapal-kapal yang beroperasi di dermaga LCM [Landing Craft Mechanized] yang khusus mengangkut muatan berat, seperti kejadian kecelakaan 5 kapal sebelumnya yang tenggelam di sekitar dermaga LCM," terangnya.
Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra ini menambahkan, Bali sangat identik dengan pariwisata, ini bisa menjadikan citra buruk bagi dunia pariwisata karena sarana infrastruktur transportasi pendukungnya dianggap tidak aman dan kurang bisa menjamin keselamatan.
Menurutnya, Coastguard KPLP yang hadir di lokasi tidak lebih dari 20 menit setelah kejadian juga Basarnas yang hadir beberapa menit setelahnya sudah cukup baik. Kendati, sangat disayangkan, yang banyak menyelamatkan penumpang adalah nelayan. Sehingga, perlu adanya peningkatan kemampuan SDM keselamatan itu.
Diharapkan, instansi pengamanan dan penyelamatan baik KPLP, Basarnas serta Bakamla dan Polair bisa bekerja sama maksimal upaya menemukan korban-korban dari kapal tersebut.
Pemerintah bisa menyiapkan ruang tunggu crisis management center yang memberikan data informasi untuk para korban dan keluarganya yang bisa diakses 24 jam serta menyiapkan ruang medis yang dibutuhkan untuk para korban dan keluarganya dan juga ruang psikologi utk pendampingan pemulihan dari trauma (trauma healing) dan diharapkan KNKT dan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) segera melakukan penyidikan dan penyelidikan agar tidak terjadi lagi kejadian kecelakaan laut tersebut.
Sebagai informasi, muatan KMP Tunu Pratama Jaya bermuatan penuh 8 tronton sebagian isi semen dan muatan berat, 3 truk besar isi, 3 truk sedang isi, 4 pick-up isi barang, 4 kendaraan kecil dan sepeda motor.