Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prabowo Kebut Proyek Hilirisasi Rp618 Triliun, Ekonom Kritisi Efek Nilai Tambah

Ekonom menilai nilai tambahnya dari program hilirisasi dalam negeri saat ini belum optimal. Untuk itu, pemerintahaan Prabowo disarankan menyiapkan strategi
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai efektivitas nilai tambah dari proyek hilirisasi yang ada saat ini belum optimal. Pasalnya, program hilirisasi saat ini disebut tak dibarengi dengan inovasi diversifikasi produk hingga hilir.

Padahal dalam pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2026 di DPR RI pada Jumat (15/8/2025) kemarin, Presiden RI Prabowo Subianto berkomitmen akan mengebut proyek hilirisasi yang investasinya ditaksir mencapai US$38 miliar atau setara Rp618 triliun pada 2026.

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ariyo Irhamna mengatakan, banyak proyek hilirisasi saat ini masih menitikberatkan pada pemanfaatan jumlah sumber daya alam, utamanya mineral.

Menurut Ariyo, sejatinya tulang punggung hilirisasi adalah kemampuan berinovasi dan mengomersialkan produk turunan baru.

"Dengan kata lain, nilai tambah yang dihasilkan masih relatif rendah dibanding investasi dan insentif yang dikeluarkan," kata Ariyo kepada Bisnis, dikutip Sabtu (16/8/2025).

Tak hanya itu, dia melihat masih ada keterbatasan komersialisasi riset dalam negeri. Pasalnya, pemerintah selama ini disebut hanya memberi dukungan riset dan insentif fiskal, tetapi transisi dari riset dasar ke pilot project dan komersialisasi belum optimal.

Ariyo menegaskan, perlunya pemisahan tugas antara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang fokus pada riset dasar hingga paten, sementara Kementerian Investasi dan Hilirisasi bertanggung jawab mendorong inovasi sampai produk siap pasar.

"Saat ini sebagian insentif hanya meningkatkan kapasitas produksi tanpa mendorong inovasi atau hilirisasi produk baru," tuturnya.

Adapun, sejumlah stimulus fiskal maupun non-fiskal yang diberikan pemerintah saat ini dinilai cenderung belum sepenuhnya memacu hilirisasi industri strategis.

Menurut dia, beberapa sektor menerima insentif besar. Namun, output industrialisasi yang tercatat relatif rendah, menunjukkan potensi inefisiensi alokasi insentif.

Untuk itu, dia menyebut, guna mendorong pertumbuhan industri dan hilirisasi dalam 1 tahun ke depan, pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah strategi.

Pertama, memperkuat ekosistem inovasi dan komersialisasi lewat insentif baru yang diarahkan untuk mendukung pilot project dan start-up hilirisasi berbasis teknologi daripada hanya riset dasar.

Kedua, optimalisasi insentif fiskal yakni insentif pajak, kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur harus diselaraskan dengan sektor-sektor prioritas hilirisasi. Fokus pada nilai tambah, teknologi, dan ekspor produk olahan.

Ketiga, peningkatan kapasitas SDM dan kolaborasi riset-industri. Pasalnya, industri membutuhkan akses ke riset mutakhir. Maka pemerintah harus memfasilitasi kolaborasi universitas–industri dan transfer teknologi.

Keempat, monitoring dan evaluasi berbasis hasil. Sebab, setiap paket stimulus harus disertai indikator keberhasilan yang jelas, misalnya pertumbuhan produksi olahan, jumlah paten yang dikomersialisasikan, atau kontribusi ekspor industri hilir.

Kelima, pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif tambahan jika perlu insentif berbasis hasil (outcome-based incentive) yang disebut lebih efektif daripada insentif input, misal subsidi langsung agar industri terdorong menghasilkan produk yang siap pasar.

"Evaluasi program hilirisasi harus diperketat untuk mengukur dampak investasi pemerintah terhadap output industri, jumlah paten yang dikomersialisasi, dan penciptaan lapangan kerja," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro