Bisnis.com, JAKARTA - Bayangkan sebuah kapal besar dapat berlayar tanpa nakhoda di ruang kendali, tanpa teknisi di ruang mesin, dan tanpa awak di geladak. Semuanya dikendalikan oleh sistem otomatis, sensor pintar, dan kecerdasan buatan dari jarak jauh.
Hal ini bukan lagi fiksi ilmiah, tetapi itulah realitas baru bahwa penggunaan teknologi industri maritim dalam pelayaran otonom berkembang sangat pesat. Kapal otonom memanfaatkan berbagai teknologi canggih untuk bernavigasi dan beroperasi secara otomatis.
Di tengah transformasi maritim yang makin canggih ini, muncul satu pertanyaan penting bagi kita: masihkah pelaut Indonesia relevan? Dan jika ya, mampukah mereka bersaing?
Otomatisasi dalam industri perkapalan telah berkembang pesat, dengan teknologi yang mampu mengendalikan berbagai aspek kapal secara mandiri, mulai dari navigasi hingga pengelolaan mesin dan muatan.
Yara Birkeland, kapal pengangkut peti kemas bertenaga baterai dan dikendalikan dengan sistem jarak jauh buatan Norwegia membuktikan bahwa operasi tanpa awak bukan lagi konsep masa depan.
Kapal autonomus merupakan kenyataan yang telah diimplementasikan di negara-negara maju seperti Norwegia, Denmark, Amerika Serikat, dan Belanda. Bagaimana dengan kesiapan Indonesia menghadapi perkembangan teknologi di industri maritim?
Baca Juga
Indonesia meskipun belum memiliki kapal otonom komersial, telah menunjukkan kesiapan melalui berbagai riset dan pengembangan seperti i-Boat, ROV W101, serta inisiatif peningkatan kompetensi SDM maritim. Langkah ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk beradaptasi dan bersaing di tengah gelombang otomatisasi global di sektor pelayaran.
Ungkapan “zaman berubah, perahu pun berganti layar” mencerminkan pentingnya adaptasi dalam menghadapi perubahan teknologi, termasuk di sektor maritim yang kini memasuki era otomatisasi. Kapal tanpa awak tidak lagi membutuhkan kru lengkap seperti kapal konvensional, sehingga banyak posisi pelaut tradisional terancam tergantikan.
Sayangnya, sebagian besar kurikulum pendidikan pelayaran di Indonesia masih berfokus pada keterampilan dasar dan belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan baru seperti penguasaan teknologi remote operation, kecerdasan buatan, keamanan siber, dan manajemen sistem otomatis.
Meskipun demikian, otomatisasi juga membuka peluang. Pelaut Indonesia yang memiliki kemampuan untuk mengubah dirinya menjadi pengelola sistem otomatis yang tidak terbatas pada pengguna akan menjadi aset berharga.
Bonus demografi Indonesia menjadi sangat strategis di sini karena generasi muda yang mahir dalam teknologi memiliki kemampuan untuk memainkan peran kunci dalam transformasi industri pelayaran nasional.
Teknologi, efisiensi, dan kecepatan adaptasi akan menentukan masa depan industri maritim Indonesia. Dengan kekayaan sumber daya manusia maritimnya, Indonesia hanya dapat bertahan dan berkembang jika berani mengubah, mengadaptasi, dan mempercepat pendidikan pelaut.
Selanjutnya ada ungkapan populer dalam wacana nasionalisme ekonomi dan kemandirian industri Indonesia yang berbunyi “Jangan jadi penonton di negeri sendiri.” Pepatah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa jangan hanya menyaksikan kemajuan teknologi dan otomasi dilakukan negara lain.
Pelaut Indonesia harus jadi pelaku utama, bukan sekadar pengamat dalam industri maritim global. Agar pelaut Indonesia tetap kompetitif di pasar global, diperlukan transformasi besar dalam pendidikan dan pelatihan maritim, termasuk melalui pengembangan keterampilan digital, keterampilan Bahasa Inggris, pelatihan ulang (reskilling), simulasi teknologi, serta perluasan sertifikasi yang mencakup aspek digital dan keamanan maritim.
Konsistensi kampus PIP Makassar sebagai bagian dari PTKL (Perguruan Tinggi Vokasi Kementerian Lain) patut diapresiasi. Sebagai lembaga pendidikan pelayaran di bawah Kementerian Perhubungan, PIP Makassar telah meluluskan lebih dari 20.000 taruna dan taruni sejak berdiri, dengan tingkat penyerapan lulusan mencapai di atas 85% ke dunia kerja, baik di pelayaran niaga nasional maupun internasional.
Melalui kurikulum berbasis STCW dan fasilitas pelatihan seperti full mission bridge simulator, laboratorium GMDSS, serta praktik laut di kapal niaga, PIP Makassar berhasil mencetak pelaut profesional yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga berintegritas dan siap menghadapi tantangan global.
Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan menjadi kunci agar transformasi ini tidak menciptakan pengangguran baru, tetapi justru melahirkan generasi pelaut baru yang adaptif dan unggul.
Untuk mewujudkan kejayaan maritim Indonesia di era digital, pendidikan dan pelatihan pelaut harus diarahkan pada pembentukan kompetensi masa depan yang adaptif terhadap teknologi. Dalam hal ini, kesiapan tenaga pengajar juga memegang peranan penting, mereka harus terus ditingkatkan melalui pelatihan berkelanjutan, sertifikasi internasional, dan pemutakhiran pengetahuan agar mampu mengimbangi kemajuan teknologi industri maritim seperti navigasi berbasis digital, sistem otomasi kapal, dan manajemen operasional berbasis data.
Generasi muda tidak boleh hanya menjadi penumpang dalam arus perubahan global, tetapi harus disiapkan sebagai navigator dan pemimpin di tengah transformasi industri pelayaran.
Sejarah kejayaan pelaut Nusantara menjadi pengingat bahwa keunggulan itu dapat dibangkitkan kembali jika pelaut Indonesia mampu beralih dari peran teknis menjadi pengelola sistem dan pengambil keputusan berbasis data.
Dengan SDM yang besar, semangat generasi muda, dan kebijakan pendidikan yang visioner, pelaut Indonesia dapat menjadi pemimpin di era pelayaran berbasis teknologi, bukan sekadar menjadi penonton di tengah arus perubahan global.