Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) membantah banyak kapal tua beroperasi di bawah standar keselamatan. Kondisi tarif penyeberangan yang tidak layak, membuat kapal sulit melakukan docking.
Peristiwa tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, memicu perdebatan terkait usia kapal penyeberangan di Indonesia yang sudah tua.
Ketua Bidang Tarif dan Usaha Gapasdap, Rahmatika, mengatakan pernyataan kapal tua tidak memiliki dasar lantaran tidak ada istilah kapal tua dari sisi teknis, yang ada adalah kapal tua secara ekonomis.
“Kapal-kapal di Indonesia relatif masih cukup muda dibandingkan dengan negara lain. Kapal yang paling tua rata-rata berusia antara 30 hingga 40 tahun dan semuanya memiliki standar kelayakan yang sama secara teknis," katanya, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, kapal-kapal di Indonesia yang masih relatif jauh lebih muda usianya dibandingkan negara lain, tetapi kapal-kapal tersebut tidak bisa melakukan peremajaan karena tarif yang berlaku tidak cukup untuk menutupi biaya operasional.
Tarif yang berlaku saat ini, tuturnya, masih di bawah standar yang dihitung oleh pemerintah. Tarif angkutan penyeberangan di Indonesia saat ini merupakan yang terendah di seluruh dunia, bahkan tarif kapal penumpang di Timor Leste lebih tinggi dibandingkan dengan di Indonesia.
Baca Juga
"Tarif penyeberangan di Indonesia saat ini rata-rata Rp1.033 per mil, sedangkan di Thailand Rp2.984 per mil, di Filipina Rp1.995 per mil, dan di Jepang untuk rute Kure–Hiroshima Rp14.135 per mil," ujarnya.
Rahmatika kembali menegaskan, tarif merupakan aspek penting dalam menghasilkan standardisasi keselamatan dan kenyamanan sesuai dengan UU Pelayaran No.17/2008.
Menurutnya, besarannya saat ini masih di bawah 31,8% dari perhitungan yang benar. Akibatnya, pengusaha kesulitan menutupi biaya operasional dan banyak perusahaan yang bangkrut karena tarif tidak memadai.
Demikian pula, KMP Tunu Pratama Jaya, menurut informasi, juga akan dijual sebelum tenggelam karena pengusahanya mengalami kesulitan dalam mengoperasikan kapal-kapalnya.
Menurutnya, kapal-kapal di Indonesia mengacu pada standar internasional (SOLAS) karena Indonesia telah meratifikasi aturan International Maritime Organization (IMO).
Regulasi kapal-kapal tua maupun muda, secara kelayakan adalah sama dan bahkan, kapal-kapal yang sudah berumur melaksanakan standar keselamatan yang lebih ketat.
“Bisa dikatakan, kapal-kapal tersebut harus mengganti komponen konstruksi yang mengalami keausan sebesar 17% dengan konstruksi yang baru, sehingga setiap tahun kapal-kapal setelah menjalani pengedokan menjadi seperti baru kembali. Ini adalah aturan internasional secara teknis dan juga diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia,” tukasnya.
Maka daripada itu, sambungnya, seharusnya DPR RI ikut mendukung perbaikan angkutan penyeberangan, karena sangat strategis bagi negara kepulauan seperti Indonesia, bukan berspekulasi.
"Apalagi pemerintah tidak terlalu berpihak kepada pengusaha untuk bisa memberikan pelayanan terbaik. Jadi, tidak ada istilah kapal itu tua, karena semua sesuai mekanisme perundang-undangan,” jelasnya.
Dia mencontohkan kapal feri di Hong Kong–Kowloon yang beroperasi sejak 1888, kini berusia sekitar 137 tahun dan masih beroperasi. Di Kanada, kapal MV Chilcotin berusia hampir 100 tahun, beroperasi sejak 1927 hingga sekarang.
Di Yunani, kapal SS Hellinis beroperasi sejak 1929 hingga saat ini. Di Italia, MV Astoria beroperasi sejak 1948 sampai sekarang. Demikian pula kapal-kapal feri di Filipina yang memiliki usia rata-rata di atas 40 tahun.
Dia melanjutkan hak angkutan penyeberangan saat ini juga belum terpenuhi dari sisi fasilitas pelabuhan, seperti minimnya jumlah infrastruktur dermaga sehingga kapal-kapal hanya bisa beroperasi 30% per bulan, kondisi dermaga yang tidak layak, bahkan masih ada dermaga LCM yang sebenarnya tidak layak untuk operasional kapal penyeberangan.
Selain itu, kondisi terminal pelabuhan tidak dilengkapi dengan timbangan, sehingga pihak kapal tidak mengetahui berat sebenarnya dari kendaraan yang akan dimuat.
Tidak ada portal yang menyaring kendaraan over dimension over loading (ODOL), dan juga tidak tersedia alat untuk mendeteksi barang bawaan pelanggan seperti di bandara. Hal-hal inilah yang menyebabkan transportasi tidak aman.