Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Usulan BMAD Benang Impor China Ditolak, Angin Segar untuk Industri Tekstil

Penolakan BMAD terhadap terhadap impor benang filamen sintetis tertentu asal China dinilai menjadi angin segar untuk industri teksil dalam negeri.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Penolakan Bea Masuk Antidumping (BMAD) terhadap terhadap impor benang filamen sintetis tertentu asal China dinilai menjadi angin segar untuk industri teksil dalam negeri.

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Fernando Emas, mengapresiasi keputusan Kementerian Perdagangan yang menolak BMAD terhadap Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY).

Menurutnya, keputusan Menteri Perdagangan sangat mempertimbangkan berbagai aspek termasuk 101 perusahaan yang menyampaikan penolakan, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Asosisi Pertekstilan Indonesia (API).

Fernando menambahkan, situasi perekonomian global saat ini yang juga berdampak terhadap perekonomian dan industri dalam negeri.

"Sangat wajar pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menolak BMAD terhadap POY dan DTY berdasarkan berbagai pertimbangan secara menyeluruh dan dampak yang diakibatkan apabila usulan KADI ditolak atau diterima," ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip pada Selasa (24/6/2025).

Pemerintah tentu tidak ingin adanya perusahaan yang berhenti beroperasi dan melakukan PHK terhadap para karyawannya sedangkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang berupaya memenuhi janjinya untuk menyediakan 19 juta lapangan pekerjaan bagi pencari kerja.

Mengenai pruduk hasil perusahaan APSyFI sudah ada komitmen dari perwakilan 101 pengusaha yang mengajukan petisi bersedia untuk menyerap kapasitas produksi POY dalam negeri dengan praktik standar berbisnis.

"Saya juga mengapresiasi yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian terkait dengan rekomendasi agar BMAD untuk produk benang filamen asal China tidak dilanjutkan karena untuk kepentingan industri tekstil dan produk tekstil (TPT)," ucapnya.

Selain itu, kebijakan tersebut bagian dari upaya mendukung program Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan penguatan industri dalam negeri.

Fernando menambahkan, bahkan lebih dari itu, akibat terjadinya banyak terjadi PHK apabila BMAD diberlakukan pada POY dan DTY maka akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan Prabowo Subianto akan menurun.

"Saya berharap pemerintahan Prabowo Subianto tetap waspada dan hati-hati dalam mengambil kebijakan agar tidak menimbulkan dampak negatif dan dimanfaatkan oleh sekelompok orang," tuturnya.

Sebelumnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengapresiasi pemerintah untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap impor benang filamen sintetis tertentu asal China.

KADI sebelumnya menyelidiki antidumping sejak 2023 atas permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk. dan PT Indorama Synthetics Tbk.

Produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu yang terdiri atas dua jenis yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY). KADI pun menyarankan tarif BMAD bervariasi, dengan batas atas mencapai 42,3%.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API Anne P. Sutanto pun mengatakan, keputusan pemerintah tidak memproses rekomendasi KADI itu menjadi angin segar bagi industri tekstil. Pelaku usaha dapat menghindari opsi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Anne mengaku menerima surat petisi dari 101 pengusaha tekstil sekitar 3 bulan yang lalu. Perwakilan 101 pengusaha tekstil juga telah dipertemukan dengan APSyFI.

Dirinya merasa pengenaan antidumping terhadap POY dan DTY bukanlah solusi yang tepat untuk industri hulu penghasil jenis benang filamen sintetis tersebut. Sebab, kondisi dalam 2 tahun ini kebutuhan akan POY hampir 10 kali lipat lebih besar dari kapasitas produksi POY dalam negeri.

Oleh karena itu, pengenaan antidumping akan menurunkan daya saing produksi turunan tekstil yang dihasilkan oleh produsen tekstil nasional terutama 101 perusahaan yang mengajukan petisi. Lebih lanjut, efek dari pengenaan antidumping dikhawatirkan akan menambah PHK dan penutupan pabrik tekstil lebih lanjut.

"Kekhawatiran APSyFi mengenai anggotanya yang kalah berdaya saing sebenarnya juga sudah dibahas dalam pertemuan di mana perwakilan 101 pengusaha yang mengajukan petisi bersedia untuk menyerap kapasitas produksi POY dalam negeri dengan praktik-praktik standar berbisnis," tutur Anne melalui keterangan resmi, Jumat (20/6/2025).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Muhammad Ridwan
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper